Pilihan
Hidup ini adalah tentang pilihan. Orang bilang begitu.
Kita tentu pernah memilih jalan dengan mengimajinasikan
seperti apa kisah hidup di masa depan dan siapa-siapa yang membersamai kisah
kita. Tentang manis yang kelak kita kecap hingga pahit yang mungkin harus kita
telan. Kadang kita mendadak (pura-pura) dewasa dan berkata dengan bijak bahwa
kita akan menerima segala konsekuensi, dengan enteng tanpa mengernyitkan dahi.
Menutupi segala ketakutan akan masa depan lalu berdalih tugas kita hanya
memilih jalan yang akan kita tempuh dan peran yang akan kita mainkan.
Hidup ini adalah tentang pilihan. Orang bilang
begitu.
Seiring waktu, adakalanya tetap bertahan (pura-pura)
dewasa di sepanjang perjalanan adalah sebuah pilihan selanjutnya. Gagah
menghadapi segala apapun yang ditemui. Tetap berpegang bahwa sekalipun pada akhirnya semua tak semanis yang kita inginkan,
setidaknya pun tak sepahit yang kita khawatirkan. Sebaliknya, adakalanya
beralibi klasik telah memperjuangkan, memaksimalkan segenap kemampuan,
memberikan selapang-lapang dada, tapi berdalih semua terlalu keruh. Lantas
segenap hiperbola menyeruak,
pasrah. Lalu akhirnya memilih menutup mata dan telinga, mencegah kenyataan di
sekeliling tertangkap oleh indra. Bersembunyi. Tergagap membisu tanpa pembelaan. Sekali lagi inipun pilihan. Pilhan untuk tidak dewasa,
pilihan untuk tidak gagah.
Hidup ini adalah tentang pilihan. Orang bilang
begitu.
Dalam
sepanjang perjalanan, realitanya ujian tidak hanya dipandang sempit dalam sebentuk
kepahitan semata. Banyak orang lahir menjadi sosok dewasa, gagah, tangguh
setelah berhasil melewati pahit perjuangan mempertahankan pilihannya. Kadang
kita lupa bahwa tak sedikit orang yang terjebak dalam kemanisan yang melenakan.
Sadar tak sadar keterlenaan adalah sebuah gejala kekalahan dengan ujian
kemanisan. Sayangnya kita sering beralibi klasik bahwa segala kemanisan tak
lain imbalan atau balasan Allah atas apa yang kita perjuangkan. Kita patut
curiga. Bahwa segala kemanisan adalah ujian Allah tahap berikutnya. Karena pada
hakikatnya sebenar-benar imbalan adalah di tempat dimana kita tak lagi
berkewajiban untuk berjuang, di kehidupan akhirat. Lalu seberapa kemanisan
pernah membuat kita lalai atas pilihan yang kita ambil?
Hidup ini adalah tentang pilihan. Orang bilang
begitu.
Atas nama
pilihan, seringkali kita menentukan prioritas atas dua atau lebih pilihan yang
utama. Kita tidak bisa memaksa orang lain memilih hal yang sama. Pun sebaliknya
orang lain. Tugas kita berupaya, tentu saja atas nama totalitas pada suatu
prioritas bukanlah alibi syar’i untuk kelalaian atas pilihan lain. Karena pada
hakikatnya ketika mereka sama-sama utama, maka mereka sama-sama suka diperjuangkan. Agar mendatangkan
suka-Nya pula tentunya. Lagipula,
perjuangan dan pelalaian bukan dua kata yang sepadan untuk dipersandingkan
bukan?
Hidup ini adalah tentang pilihan. Orang bilang
begitu.
Tentang
perjuangan atas pilihan yang kita ambil, jika hidup ini dianalogikan sebuah
permainan ular tangga maka seberapa besar peluang kita untuk menemui “petak pangkal
anak tangga” sebagai sebuah akselerasi perjuangan. Tanpa bersusah melangkah
petak demi petak lantas mencapai petak yang semakin mendekatkan kita ke “petak
berangka sempurna” atau bisa dibilang “petak puncak akhir perjuangan kita”.
Betapa manis bukan? Tapi
bukankah kita juga punya sekian peluang yang sama dimana angka yang muncul mengantarkan
kita bertemu “petak kepala ular”. Rela tidak rela, perjuangan langkah demi
langkah yang telah ditempuh harus mundur begitu saja yang menjadikan kita semakin
jauh dari “petak puncak akhir perjuangan kita”. Betapa pahit bukan?.
Tapi kembali
lagi mengingat bahwa kita bukan biduk-biduk yang tiap langkah menunggu
angka yang muncul dari lemparan anak dadu bukan? Kitapun percaya tentang takdir, bahwa hidup ini bukan
tentang kebetulan. Bahwa Allah
bukan pelempar dadu. Dia, bisa dibilang penentu angka, atau lebih
tepatnya Sang Perencana Strategis. Barangkali
kita pernah merasa sudah sedemikian rupa berupaya tapi kita tak kunjung sampai
pada “petak berangka sempurna”. Barangkali itu hanya wujud cinta dari-Nya,
bahwa Dia cinta dengan perjuangan kita. Sementara kita yang pernah merasa
sedikit saja berupaya tapi beruntungnya selalu diarahkan berhenti di
“petak-petak pangkal anak tangga” hingga begitu cepat mendekati “petak berangka
sempurna”. Tak lekas begitu saja berbangga.
Karena
(barangkali) sebuah perjuangan adalah sebentuk cinta seorang hamba kepada
Tuhannya. Sebentuk alunan semesta yang menyeruak agar cintanya menjadi
terdengar, terlihat, atau terasa.
Agar arusnya menyembul dari dasar palung ke permukaan. Agar buihnya menjalar
dari tengah samudra ke tepian pesisir. Agar desirnya mengalir dari lekuk lembah
ke puncak bukit. Agar pijarnya mengggejolak dari perut bumi ke mulut magma.
Barangkali
Allah belum cinta dengan perjuangan
sebagai wujud cinta kita yang kurang bersungguh-sungguh. Atau barangkali kita
memang sudah bersungguh-sungguh, tapi karena Allah cinta sebentuk perjuangan
kita maka dibiarkanlah kita meneguhkan perjuangan itu. Maka nikmati
setiap alir proses tanpa kelenaan, hingga penghujung adalah titik ujung ikhtiar
terbaik setelah melewati puncak terdekat dengan titik keputusasaan. Karena
perjuangan itu nisbi.
0 komentar: