Pilihan

19.35 0 Comments

Hidup ini adalah tentang pilihan. Orang bilang begitu.
Kita tentu pernah memilih jalan dengan mengimajinasikan seperti apa kisah hidup di masa depan dan siapa-siapa yang membersamai kisah kita. Tentang manis yang kelak kita kecap hingga pahit yang mungkin harus kita telan. Kadang kita mendadak (pura-pura) dewasa dan berkata dengan bijak bahwa kita akan menerima segala konsekuensi, dengan enteng tanpa mengernyitkan dahi. Menutupi segala ketakutan akan masa depan lalu berdalih tugas kita hanya memilih jalan yang akan kita tempuh dan peran yang akan kita mainkan.

Hidup ini adalah tentang pilihan. Orang bilang begitu.
Seiring waktu, adakalanya tetap bertahan (pura-pura) dewasa di sepanjang perjalanan adalah sebuah pilihan selanjutnya. Gagah menghadapi segala apapun yang ditemui. Tetap berpegang bahwa sekalipun pada akhirnya semua tak semanis yang kita inginkan, setidaknya pun tak sepahit yang kita khawatirkan. Sebaliknya, adakalanya beralibi klasik telah memperjuangkan, memaksimalkan segenap kemampuan, memberikan selapang-lapang dada, tapi berdalih semua terlalu keruh. Lantas segenap hiperbola menyeruak, pasrah. Lalu akhirnya memilih menutup mata dan telinga, mencegah kenyataan di sekeliling tertangkap oleh indra. Bersembunyi. Tergagap membisu tanpa pembelaan. Sekali lagi inipun pilihan. Pilhan untuk tidak dewasa, pilihan untuk tidak gagah.

Hidup ini adalah tentang pilihan. Orang bilang begitu.
Dalam sepanjang perjalanan, realitanya ujian tidak hanya dipandang sempit dalam sebentuk kepahitan semata. Banyak orang lahir menjadi sosok dewasa, gagah, tangguh setelah berhasil melewati pahit perjuangan mempertahankan pilihannya. Kadang kita lupa bahwa tak sedikit orang yang terjebak dalam kemanisan yang melenakan. Sadar tak sadar keterlenaan adalah sebuah gejala kekalahan dengan ujian kemanisan. Sayangnya kita sering beralibi klasik bahwa segala kemanisan tak lain imbalan atau balasan Allah atas apa yang kita perjuangkan. Kita patut curiga. Bahwa segala kemanisan adalah ujian Allah tahap berikutnya. Karena pada hakikatnya sebenar-benar imbalan adalah di tempat dimana kita tak lagi berkewajiban untuk berjuang, di kehidupan akhirat. Lalu seberapa kemanisan pernah membuat kita lalai atas pilihan yang kita ambil?

Hidup ini adalah tentang pilihan. Orang bilang begitu.
Atas nama pilihan, seringkali kita menentukan prioritas atas dua atau lebih pilihan yang utama. Kita tidak bisa memaksa orang lain memilih hal yang sama. Pun sebaliknya orang lain. Tugas kita berupaya, tentu saja atas nama totalitas pada suatu prioritas bukanlah alibi syar’i untuk kelalaian atas pilihan lain. Karena pada hakikatnya ketika mereka sama-sama utama, maka mereka sama-sama suka diperjuangkan. Agar mendatangkan suka-Nya pula tentunya. Lagipula, perjuangan dan pelalaian bukan dua kata yang sepadan untuk dipersandingkan bukan?

Hidup ini adalah tentang pilihan. Orang bilang begitu.
Tentang perjuangan atas pilihan yang kita ambil, jika hidup ini dianalogikan sebuah permainan ular tangga maka seberapa besar peluang kita untuk menemui “petak pangkal anak tangga” sebagai sebuah akselerasi perjuangan. Tanpa bersusah melangkah petak demi petak lantas mencapai petak yang semakin mendekatkan kita ke “petak berangka sempurna” atau bisa dibilang “petak puncak akhir perjuangan kita”. Betapa manis bukan? Tapi bukankah kita juga punya sekian peluang yang sama dimana angka yang muncul mengantarkan kita bertemu “petak kepala ular”. Rela tidak rela, perjuangan langkah demi langkah yang telah ditempuh harus mundur begitu saja yang menjadikan kita semakin jauh dari “petak puncak akhir perjuangan kita”. Betapa pahit bukan?.

Tapi kembali lagi mengingat bahwa kita bukan biduk-biduk yang tiap langkah menunggu angka yang muncul dari lemparan anak dadu bukan? Kitapun percaya tentang takdir, bahwa hidup ini bukan tentang kebetulan. Bahwa Allah bukan pelempar dadu. Dia, bisa dibilang penentu angka, atau lebih tepatnya Sang Perencana Strategis. Barangkali kita pernah merasa sudah sedemikian rupa berupaya tapi kita tak kunjung sampai pada “petak berangka sempurna”. Barangkali itu hanya wujud cinta dari-Nya, bahwa Dia cinta dengan perjuangan kita. Sementara kita yang pernah merasa sedikit saja berupaya tapi beruntungnya selalu diarahkan berhenti di “petak-petak pangkal anak tangga” hingga begitu cepat mendekati “petak berangka sempurna”. Tak lekas begitu saja berbangga.

Karena (barangkali) sebuah perjuangan adalah sebentuk cinta seorang hamba kepada Tuhannya. Sebentuk alunan semesta yang menyeruak agar cintanya menjadi terdengar, terlihat, atau terasa. Agar arusnya menyembul dari dasar palung ke permukaan. Agar buihnya menjalar dari tengah samudra ke tepian pesisir. Agar desirnya mengalir dari lekuk lembah ke puncak bukit. Agar pijarnya mengggejolak dari perut bumi  ke mulut magma.
Barangkali Allah belum cinta dengan perjuangan sebagai wujud cinta kita yang kurang bersungguh-sungguh. Atau barangkali kita memang sudah bersungguh-sungguh, tapi karena Allah cinta sebentuk perjuangan kita maka dibiarkanlah kita meneguhkan perjuangan itu. Maka nikmati setiap alir proses tanpa kelenaan, hingga penghujung adalah titik ujung ikhtiar terbaik setelah melewati puncak terdekat dengan titik keputusasaan. Karena perjuangan itu nisbi.

Erna

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: