Ketika Husnuzon Menjadi Tantangan Tertinggi

03.25 0 Comments

Diam memang lebih mudah dilakukan daripada membuat alasan, tetapi setidaknya alasan itu mampu meredam munculnya sebuah suudzon yang mengatasnamakan kepekaan. Karena menjadi peka memanglah tak mudah, ketika seseorang dituntut harus mampu mendengarkan panggilan yang sebegitu lirihnya, serta harus melihat tanda yang sebegitu kecilnya. Karena sesulit apapun itu, tetap saja memekakan diri adalah hak saudaraku yang harus kupenuhi. Namun aku tak yakin sudah bisa memenuhi hak itu. Bahkan mungkin tulisanku inipun termasuk salah satu tanda ketidakpekaanku.

Masih teringat jelas di benakku, awal skenario Allah mempertemukan kita. Lebih dari lima tahun yang lalu. Dari segi tempat memang tak ada yang terlalu istimewa di sana, ya dua bangku kayu yang beriringan di sebuah ruang kelas, tapi bukankah keistimewaan itu relatif? Bagiku tetap, di situlah kisah kita yang istimewa dimulai. Terlalu absurd untuk diuraikan, entah kenapa kemudian kita menjadi salah satu yang teristiqomah di sana, istiqomah tuk tetap beriringan hingga episode putih abu-abu kita berakhir.

Selanjutnya kitapun asyik larut mengikuti alur skenario-Nya. Berawal dari duduk beriringan, lalu berjalan beriringan, hingga berlaripun beriringan, saling memacu dan terpacu. Waktu yang telah berlalu itu tak bisa dibilang sebentar bagiku. Terlalu banyak momen ukhuwah kita yang bahkan mungkin akupun tak mampu menulis semua kisah itu di sini. Bahagia, kecewa, marah, luka, sedih, haru, seperti crayon yang mewarnai kertas kisah kita. Dan di antara sekian banyak  warna itu ada warna favorit kita, namanya warna bahagia. Tapi tak bukankah kita tak bisa melukis pelangi hanya dengan satu warna? Maka biarlah warna-warna itu bak penyusun indah pelangi kisah kita.

Bolehlah aku mengurai sepotong episode kita yang tak terlupa. Episode tentang keharuan. Saat itu, kita terhanyut dalam peluk haru, kita menangis tersedu-sedu. Saat itu, aku mengira kita akan melewati batas ruang, jarak dan waktu itu. Saat itu, ku kira ku akan benar-benar melangkah jauh ke negeri seberang. Mungkin kita saat itu terlalu pengecut, takut pada ruang, takut pada jarak, takut pada waktu, takut jika mereka bermain-main di antara kita, mengusik kisah kita dan menjadikan kisah kita hanya tertinggal sebagai bagian memori masa lalu. Tetapi Allah punya rencana lain, bukan seperti itu skenario yang ditulis-Nya. Allah masih menuliskan kita kembali berjuang bersama. Memijak di tanah yang sama dan beratapkan langit yang sama.

Namun aku, kamu, dulu, sekarang, tak ku pungkiri beberapa hal memang berubah. Ketika kini terkadang langkah kaki kita berbeda frekuensi, terkadang kita lupa tuk saling memacu karena tujuan dan cita kita yang memang terus memacu kita untuk berlari lebih dan lebih cepat untuk mencapainya. Bukan menyalahkan tujuan dan cita itu, bukan. Kita sama-sama tau mana tujuan dan cita yang mulia, yang bermuara pada ridho-Nya, dan mana yang sekadar ambisi dunia dan angan-angan yang fana. Aku yakin kita tau. Hanya saja  terkadang mungkin kita saling terlupa, terlebih diriku sendiri. Terkadang mungkin saja terlalu asyik melangkah hingga lupa tujuan dan cita itu, mungkin pula terlena ambisi palsu dan angan-angan fana itu., bahkan hingga tak menyadari keangkuhan diri. Hingga akhirnya lupa pada irama langkah di antara kita yang mulai gontai. Entah itu langkahku atau mungkin langkahmu.

Sungguh, ketika diberi 2 pilihan apakah aku akan “mendorongmu” atau “menarikmu” saat adakalanya langkah kakimu terhenti. Aku tidak ingin memilih keduanya. Aku hanya ingin tetap menggandeng tanganmu dari samping lalu kita melangkah lagi bersama. Begitupun aku, jika langkahku yang tiba-tiba terhenti, lantas aku di beri pilihan itu. Akupun tak ingin kau “mendorongku”  ataupun “menarikku”. Aku hanya ingin kau dari sampingku, menggandeng tanganku dan kita melangkah lagi bersama.

Tapi bukankah Allahpun menganjurkan kita untuk saling berfastabiqul khairot? Ya, kitapun tak boleh melupakan itu, tak boleh melalaikan langkah kita untuk berlomba menggapai tujuan dan cita mulia itu. Tapi aku berharap kita tetap sama seperti dulu, menyamakan frekuensi, saling memacu lagi tuk melangkah bersama ke arah yang sama. Tetap saling memahami, saling mengerti, saling berbagi, dan saling mengingatkan lagi. Untuk itu, mari kita saling berteriak lebih kencang lagi, saling menepuk bahu lebih keras lagi, dan saling menyadarkan hati. Karena sekali lagi menjadi peka memang tak mudah. berteriaklah lebih kencang, agar tak ada lagi alasan untuk bersuudzon dengan mengatasnamakan sebuah kepekaan.

Ketika husnuzonpun menjadi tantangan tertinggi dalam sebuah ukhuwah. Mungkin karena ruang membuat langkah kita sulit untuk selalu beriringan. Mungkin karena jarak membuat lelah hingga langkah enggan terayun lagi. Atau mungkin karena waktu mencekik masing-masing kita hingga sulit bersua atau sekedar saling sapa. Tapi hanya ingin kau tau, bahwa karena aku menyayangimu karena-Nya, karena itu pula aku ingin hingga kelak kita tetap melukis kisah bersama, di tempat yang tak akan lagi membuat kita khawatir pada ruang, jarak dan waktu. Mari bersama berikhtiar mengistiqomahkan diri di jalan-Nya, melangkah lagi dan jangan berhenti, berbenah diri menuju ke sana, ke tempat yang bernama Firdaus ilahi.
Teruntuk saudariku yang ku cintai karena Allah, ingin tetap dan selalu mendekapmu dalam ukhuwah ini.
Semoga kisah kita tidak hanya menjadi sandiwara satu babak saja. :)


Semarang, 1 November 2013

Erna

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: