Terima Kasih Lawu

21.24 0 Comments


Terima kasih lawu...
Atas terik siang...
Kau membuatku penuh peluh memang, tapi kau menyemangatiku tuk terus melangkah

Terima kasih lawu...
Atas indah senja...
pastilah takkan mampu memandang pesonamu jika aku tak mau berlelah-lelah mendaki, sungguh kau pelipur semua lelah langkah

Terima kasih lawu...
Atas dingin malam...
mengajarkanku tuk merasakan sebenar-benar rindu pada hangat pagi yang membuncah

Dan terima kasih lawu...
Atas damai pagi...
menghangatkan, memandang mentari mulai tersenyum merekah, memaksaku bangun meski  tubuh ini terasa payah
menenangkan, memandang biru langit yang mulai bersih dari gurat-gurat jingga, lembut damai dan indah
meneduhkan, memandang gumpalan awan-awan putih seputih kapas, seputih hati yang terlepas dari amarah
menceriakan, memandang ilalang-ilalang menghijaukan pandangan mata, bergoyang lirih dengan tubuhnya yang basah, mengingatkanku bahwa akupun tak boleh lelah
mencengangkan, embun-embunpun membeku, mengkristal,  sisa-sisa dingin malam tak hanya sekedar menjadikannya tetes-tetes basah

terima kasih lawu...
mengajarkanku tuk terus berjuang, debu, kerikil, bahkan terjal batu, entah apapun yang kutemui aku harus tetap melangkah


Semarang, 16 Oktober 2013

0 komentar:

Bukan Jalan Biasa

21.17 0 Comments

Sore... 
Memandang wajah-wajah baru yang sibuk dengan mimpinya, sibuk dengan semangat barunya. Entah tiada yang bisa menerka yang di balik wajah-wajah semangat itu, apa yang tertanam di hati-hati yang masih murni, polos, putih. Merekalah generasi-generasi peradaban, mutiara-mutiara di dasar samudra. Ya, mutiara yang belum nampak karena tertutup kerasnya kulit kerang sebagai tempatnya tumbuh. –Up grading magang EKSIS 1434H (5/10)

Sekejap bayang masa itu muncul kembali, sekilas menyorot masa lalu. Ketika seorang anak manusia yang masih begitu polosnya memulai tapak langkahnya di jalan ini. Jalan yang sebelumnyapun tak benar-benar ia pahami. Jalan apa ini? Kenapa harus jalan ini? Benarkah jalan ini? Haruskah aku di sini? Haruskah aku? Dan begitu banyak lagi pertanyaan lain dibenaknya.

5 Maret 2013, tepatnya pukul 02.33 wib. Dering ponsel membangunkan dari lelap tidurnya. Sebuah pesan yang membuat terhenyak, entah kenapa degup jantungnya terasa melebihi kecepatan normal, mata yang masih sayu sekejap terbuka lebar. Ah, apa ini mimpi? Pikirnya, Setengah tak percaya membaca pesan singkat itu. Dibacanya lagi dan lagi...

Aslmkum, barakallah antum terpilih sebagai bla bla bla di EKSIS 1434 H. Semoga antum bisa amanah mengemban tugas mulia ini. (konfirmasi kesanggupan saya tunggu hari ini juga)
_masul eksis_
*EKSIS: Rohis (LDK) FE UNNES

Ya Allah... Apa ini? Lagi lagi muncul tanya di hatinya. Bingung, bimbang, ragu. Benarkah ini? Kenapa aku? Lantas harus bagaimana? Dan akhirnya ia memutuskan menghentikan sejenak kemelut fikirannya itu. Bergegaslah ia menyejukkan diri dengan air suci lantas bersiap menghadap rabbnya, sang Pemilik Hati yang sesungguhnya. Namun kembali, isi pesan singkat itu lagi-lagi muncul di memori fikirannya.

“Ya Robb... Aku merasa belum pantas. Amanah ini, benarkah untukku? Siapa aku?” di sela panjat doanya, lirih.

Dan ia hingga jelang fajar shubuh ia masih sibuk dengan kebimbangan hatinya. Kemudian diingatnya lagi, ketika ia meniatkan diri untuk merapatkan dirinya di barisan dakwah, seketika ia teringat lagi sebuah ayat Al Quran- Al Huda - yang menjadi penugasan hafalan dalam suatu agenda (masih di ranah dakwah kampus juga).

Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS Muhammad: 7)
Diingatnya lagi, detapa diri masih perlu dibenahi, betapa ingin perkaya ilmu tuk bekal diri, betapa ingin membermanfaatkan diri, dan satu hal lagi yang tak kalah memberatkan pertimbangan hati, bahwa betapa ia rindu kawan-kawan yang sebenarnya sudah lama ia ingin berada di tengah-tengah mereka. Wajah-wajah yang meneduhkan, wajah-wajah penuh kelembutan, penuh keramahan. Ya, betapa hangat mereka.
Lantas ia putuskan menekan tombol “reply” dan mengetik singkat, cukup 2 kata,

InsyaAllah siap

Begitulah sedikit cerita tentang ia yang dulunya ‘menganggap’ moment itu awal langkahnya di jalan dakwah. Ya, saya tekankan lagi ‘menganggap’ karena belakangan ia baru menyadari bahwa jalan ini bahkan sudah lama ia tapaki, karena perjuangan ini bahkan sudah dimulai jauh sebelum ia menekan tombol “reply” itu.
Maha besar Allah, jalan ini memang bukan jalan biasa. Tak terlihat oleh mata hati yang buta. Butuh perjuangan yang bukan sekedar perjuangan biasa, kontribusi di sana bukan kontribusi biasa, lelah di sana bukan lelah biasa, dan tidak butuh orang-orang biasa, melainkan orang-orang yang luar biasa. Dan semua pertanyaan di hati terjawab sudah, segala keraguan, kebimbangan, kebingungan itupun akhirnya sirna. Sebuah kalimat yang membuat speechless, bahwa tanpa kitapun dakwah itu akan tetap ada, namun sesungguhnya kitalah yang membutuhkan dakwah.



Semarang, 5 Oktober 2013

0 komentar:

Adakalanya Bintangpun Redup

21.11 0 Comments

Belajar dari bintang, adakalanya iapun meredup. Tapi redup itu bukan alasan baginya untuk menjauh dari titik edarnya, atau berhenti pada titik redup itu.  Redup, senyap, gelap, semua  itu menyesakkan memang, tapi bukankah redup itu mengajarkan bintang untuk tetap tawadhu. Karena terang sinarnya itu bisa saja meninggikan angannya, menguji keangkuhannya. 
Bagaimana tidak? Manusia begitu memuji kilaunya, terpesona kelip sinarnya... padahal mereka sedikit yang tahu bahwa dibalik kilaunya, sinarnya, yang memang nampak indah dilihat dari jauh, tapi dari dekat bintang-bintang itu ada yang berdebu, berkerikil, atau bahkan berjurang. Tapi Maha Besar Allah, dijadikannya indah di mata manusia.
Begitupun diri kita. Lagi-lagi Allah begitu baik, Dia menutupi kekurangan-kekurangan kita, aib-aib kita di mata manusia lain.  Lalu pantaskah kita berjalan di bumi Allah ini dengan sikap sombong? Angkuh? Atau merasa hebat? Padahal semua itu bukan 100% karena diri kita baik, tapi Allah masih menutupi kekurangan kita. Sudut pandang orang lain terhadap kebaikan kita ialah bias, Allahlah  yang mengatur segalanya.
Lalu bagaimana kaitannya dengan bintang yang redup tadi? Sama saja. Kitapun sebagai manusia adakalanya mengalami masa di mana kita merasa tak indah, tak baik, tak pantas, atau lebih menyesakkan lagi dipandang rendah manusia lain. Berfikir positiflah bahwa itu cara Allah mengingatkan kita, menegur kita, menguji keikhlasan kita. Bukankah seorang hamba yang benar-benar ikhlas itu tak terpengaruh oleh pujian ataupun hinaan, yang Dia lakukan adalah tulus mengharap ridho-Nya.
Mari perbaiki diri di mata Allah :)


Semarang, 4 Oktober 2013

0 komentar:

Tentang Memori Pagi

21.02 0 Comments

Pagi, gurat-gurat  jingga di ufuk timur
Menembus, menerobos kabut-kabut yang mengabur
Garis-garis terang mengusir bayang gelap
Mengusik senyap

Uap-uap dingin mengembun
Membentuk titik-titik bening di ujung daun
Titik-titik menebar aroma  kesejukan
Titik-titik yang meronakan ketulusan
Titik-titik sederhana tanpa ambisi
Ambisi tuk diakui keberadaan diri

Hingga ketika jingga telah membiru
Ketika bayang-bayang dahan tak sepanjang dahulu
Titik-titik harus taat, patuh pada kodrat tuhannya
Tergerus siang yang menyapa
Ia lenyap, pergi behamburan
Kembali menjadi uap-uap betebaran
Mari belajar menjadi embun-embun kehidupan, yang memberi makna kesejukan. Lihatlah betapa tulus ia, betapa ikhlas ia. Betapa ia tahu, benar-benar tahu. Bahwa ia hanya setitik makhluk, hadirnyapun hanya sekejap. Karena ketika siang datang, ia tak lebih dari bagian memori pagi. Tapi tak pernah lelah ia, tak pernah galau ia. Tak pernah ia risaukan ketika sejuknya harus terlupa ketika terang datang. Bukankah sudah menjadi kodrat ilahi, tak selamanya kita diakui.

Ketika pagi harus pergi tergantikan siang dan sejuk-sejuk itu kembali memudar, yakinlah sepanjang  Tuhan masih menghendaki bumi berputar, maka pagi itu akan kembali datang. Semua yang tercipta pastilah ada masanya, kita sebagai ciptaan-Nya mampukah memanfaatkan masa itu dengan bijak? Memberikan kebermanfaatan yang maksimal. Karena ada masa di mana kita tak mampu lagi menebar manfaat, masa ketika mulut dikunci, tiada lagi kata, tiada lagi suara. Dan tak ada lagi memori pagi ketika langit telah bertemu bumi, dan bumipun tak mampu lagi memutar dirinya tanpa kehendak ilahi.


Semarang, 1 Oktober 2013

0 komentar: