Teladan dalam Dakwah

05.04 0 Comments

Subhanallah, hari ini kehujanan hikmah dari seorang sesepuh desaku sekaligus guru ngaji semasa kecilku. Orang-orang memanggil beliau Embah Kaji atau Wa Kaji. Sosok Embah yang telah berusia 90-an tahun ini sangat sederhana. Yah, sangat sederhana. Kupikir semua orang di desakupun tahu, beliau bukan orang berkecukupan. Tapi dengan gigih, beliau yang kesehariannya hanya mengolah sawah ini mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk menyempurnakan rukun Islam yang kelima. Dengan usia beliau yang sudah sepuh, lagi dengan penghasilan beliau yang tak seberapa itu, dan lagi dengan merelakan lebih dari sebagian sawah dijual beliau untuk ongkos beliau ke baitullah, memenuhi panggilan-Nya, subhanallah.

Hari ini kami berbincang. Embah yang setia mengenakan peci menutupi rambut yang sudah seluruhnya berwarna putih ini banyak berbagi kisah tentang desaku. Dengan pembawaan yang tenang, beliau bercerita ketika berpuluh-puluh tahun yang lalu menjejakkan kaki di desaku. “Nok, sekarang sih sudah seperti ini Alhamdulillah, dulu jangankan kamu mau cari masjid atau langgar (red mushala), bahkan belum ada seorangpun di sini yang sembahyang (red. shalat). Saya dari desa sebelah, desa ini kebetulan selalu saya lewati untuk pulang-pergi ke pondok. Dulu tak seberapa yang mencari ilmu, betapa tidak, saya dan teman-teman berjalan berkilo-kilo untuk menuntut ilmu. Biasanya jika pagi berangkat maka sore hari baru sampai ke pondok.”

“Baru setelah menikah dengan almarhum istri saya, saya memutuskan untuk tinggal di sini. Mengajak masyarakat pada Islam bukan hal yang mudah, dulu di desa ini masih kental sekali dengan adatnya, percaya sesajen-sesajen, atau kesyirikan-kesyirikan lain. Lalu sedikit-sedikit saya mulai mengajar shalat dan ngaji, dan kebanyakan masyarakat usia 30-40an taun. Sekarang Alhamdulillah, senang melihat anak-anak kecil sudah bisa madrasah, TPQ, pergi ke guru-guru ngaji.” Tutur beliau sambil tersenyum.

“Tapi nok, sekarang langgar dan masjid sepi. Saya sudah tua, sudah tak sekuat dulu. Bahkan dengan penyakit tua ini, terkadang untuk berjalan ke langgarpun tak mampu. Rasanya berat bila tak bisa ke langgar. Teringat dulu sewaktu langgar tak sebagus sekarang, hanya bangunan kecil dari papan kayu dan bambu dengan remang ceplik (red. lampu minyak) sebagai penerangnya. Tapi anak-anak muda ramai berdatangan. Sekarang, ketika saya tak bisa ke langgar jamaah bingung, tak ada lagi anak muda yang ke langgar, mereka kan yang seharusnya bisa menggantikan saya.” Mata beliau yang penuh keriput di ujung-ujungnyapun mulai sayu.

Ah aku trenyuh mendengar penuturan langsung dari beliau. Teringat saat shalat berjamaah di langgar, semakin kesini beliau memang semakin sepuh, kadang shalatpun jadi ikut trenyuh saat beliau melafalkan surat dalam shalat, panjang sedikit serak, parau, bahkan kadang terbatuk.  Kini lebih banyak melafalkan surat yang ayatnya tak terlalu panjang. Beberapa kali pula beliau lupa rakaat shalat. Paling suka mendengar puji-pujian yang sering beliau lantunkan sehabis adzan shubuh, menjadikan dingin subuh semakin syahdu rasanya.

Ya allah gusti kula nyuwun, anak shaleh kang purun donga, manut syariat agama, tuntunane wali sanga
Ya allah gusti kula nyuwun, rezeki akur halal barakah, kangge jariyah shodaqoh, kangge ziarah Madinah Mekah
Ya allah gusti kula nyuwun, pinaringan ilmu manfaat, kangge ibadah lan taat
Ya allah gusti kula nyuwun, pinaringan panjang umur, dunia akhirat sageda makmur
Ya allah gusti kula nyuwun, saged kersa istiqomah,
Ya allah gusti kula nyuwun, benjang pejah khusnul khatimah
Kula iki bakal dadi raja, numpak mobil kang roda dawa, rodane sikil manungsa, temurune ngisor semboja....

“Kita hidup di dunia ga selamanya nok, tapi banyak yang sibuk dengan dunianya sehingga lupa sama sing gawe urip, lupa kehidupan setelah ini. Padahal Allah memberi banyak pahala bagi yang mau beramal, beribadah pada-Nya. Di duniapun banyak diberi, apalagi nanti di akherat.”

“Nok, jauh-jauh kau menuntut ilmu, yang sungguh-sungguh, yang rajin, banyak-banyak ngaji ilmu agama juga, nanti tularkan di sini sama yang lain. Sekarang orang pintar banyak, tapi nyari yang bisa memberi keteladanan itu susah. Pandai berkhutbah tapi lalai memuliakan Allah, dulunya nyantri tapi malas ngimami. Jangan lalai oleh dunia, oleh jabatan nanti kalau sudah jadi orang ya.”

Banyak hikmah yang bisa kupetik dari sosok sederhana ini setelah percakapan kami hari ini. Bahwa menyeru pada yang ma’ruf dan mencegah pada yang mungkar memang bukan hal yang ringan, bukan hal yang bisa dilakukan dengan instan. Dakwah bukan sulap yang bisa merubah dalam sekejap. Dakwah ini jalan panjang, makanya butuh keteguhan.  

Bahwa benarlah apa yang disabdakan oleh Rasulullah, “kalian (muslimin) akan diperebutkan oleh umat-umat lain seperti orang-orang siap memakan (hidangan) yang ada di hadapannya.” Para sahabatpun bertanya, “Apakah dikarenakan jumlah kita sedikit pada saat itu, wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, “Tidak, bahkan jumlah kalian banyak. Namun kalian seperti buih, sungguh Allah akan mencabut rasa takut dari hati musuh-musuhmu, dan sungguh Allah akan memasukkan penyakit wahn dalam hatimu.” Sahabat bertanya, “Apa penyakit wahn itu?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” Dan sekarang ini, umat Islam adalah mayoritas, tapi tak sedikit yang tak memahami Islam secara kaffah. Sekarang ini, banyak berlomba memperindah, mempermegah mushala, masjid, tapi jamaahnya? Silahkan dihitung.

Bahwa keteladanan itu bukan hal yang mudah. Dakwah ini adalah memberi. Lalu bagaimana kita bisa memberi jika kita tidak memiliki, bukan begitu? Maka tak ada artinya dakwah seorang lalai yang menyeru manusia agar senantiasa taat. Tak  ada gunanya dakwah seorang penggemar foya-foya yang menyeru manusia agar hidup sederhana. Dan tidak akan ada bekasnya dakwah orang yang gemar melakukan penyimpangan ketika dia menyeru manusia kepada istiqomah.

Dan bahwa “Seberapa kau dipercayai, adalah seberapa kau mengabdi.”

Tegal, 10 Februari 2014

Erna

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: