Setoples Kisah, Jangan Jadi Remah :)
Barangkali
kau sudah melupakannya, taburan cengkeh di pekarangan-pekarangan kampung yang
bahkan kita rela mengayunkan langkah-langkah kecil menembus gelap dini hari.
Lalu dengan gagah kita tenteng obor dan senter rakitan sederhana. Atau di bawah
rintik hujan yang selalu menggoda kita berburu biji demi biji yang berjatuhan.
Tak banyak memang. Tapi kantong demi kantong hasil lelah yang terkumpul dan
kita tukar dengan beberapa lembar rupiah, kukira itulah yang disebut orang
dewasa sebagai ‘bahagia’.
Barangkali kau tak menyadarinya, pertanyaan yang belum sempat terucap. Pertanyaan yang hanya ku radiasikan sebatas derai sunyi. Kenapa aku...kenapa hanya aku yang harus berseragam tiap pagi. Sedangkan kau asyik bertualang di ladang nan jauh sambil berlari-lari, bermain bersama sapi-sapi, serta berburu rumput hijau di sawah dan pinggiran kali. Kau egois. Apakah itu yang disebut orang dewasa sebagai emansipasi? Anak lelaki ‘bersenang-senang’, dan aku anak perempuan yang harus ‘berlelah-lelah’ bersama teman sebaya, mengulas yang orang dewasa sampaikan di dalam ruang berjejer, dan tentu saja aku harus duduk manis tiap hari.
Barangkali kau menikmatinya, memulai jejak para orang dewasa. Tiap lebaran mereka ramai-ramai kembali dari rantau menenteng kardus-kardus yang mereka sebut sebagai ‘oleh-oleh’, lagi-lagi itu kata mereka -orang dewasa. Lembaran rupiah yang masih wangi, sekaleng biskuit renyah aneka rupa, permen-permen manis yang berkilau, hingga coklat yang membuat gigi belepotan selalu menjadi kutub magnet yang menarik kita ramai berkerumun bak serpih-serpih besi. Tapi lagi-lagi kau egois. Kau bilang hanya ingin jalan-jalan ke rantau bersama bapak. Tak selang lama, aku kebingungan, yang ada hanya ia kembali seorang diri.
Barangkali kau tak ingin lagi menemuinya, air jernih yang mengalir di tepi jurang jelarang yang aku tak pernah hafal jalan untuk bertualang seorang diri. Mencari orang aring di tepian hamparan padi. Berburu jangkrik di tepi kebun bambu. Menangkap belalang di ujung tegap ilalang. Juga mengepung ikan-ikan kecil di kali. Ah, rasanya akupun telah hilang selera melakukannya lagi. Kau jauh di sana bagaimana? Sepertinya kau temukan penggantinya, asyik bertualang di rantau sana.
Tahun terus berganti namun aku masih dengan hal yang sama, berseragam tiap pagi. Bak bunglon biru yang bermimikri menjadi abu-abu. Bahkan kini sudah tak ada lagi seragam, tapi masih saja berkutat dalam hal yang tak jauh berbeda. Aku iri dengan masa lalu. Dibela ketika di sekolah, kau tahu bukan betapa cengengnya aku. Ditemani pergi mencari tanah liat lalu diajari membuat pot dan boneka, dituntun membuat anyaman, dibuatkan ayunan di pohon belimbing belakang rumah, berlomba egrang dan terlalu banyak hal yang semakin kusebut semakin aku iri.
***
Aku
terbangun dari semua euforia itu. Aku tersadar bahwa aku bukanlah
seorang pendefinisi ulung. Tentang yang mereka
sebut bahagia, ternyata
tak cukup dibayar dengan seberapa
lembar uang dari cengkeh-cengkeh kering itu. Tapi
seberapa kita mau bergegas melakukanya dengan senang hati, penuh kerelaan hati.
Bukankah lucu jika demi uang yang tak seberapa, yang habis dalam hitungan hari,
kita harus menembus gelap dan dingin dini hari. Berhamburan kesana kemari di
bawah deras hujan.
Tentang
kata
emansipasi, itu hanya letupan semuku yang tak mampu bijak mendefinisi.
Kenapa
tak kita berseragam bersama? Itu bukan keegoisan, tapi sebuah
pengorbanan
seorang anak laki-laki. Bersenang-senang atau berlelah-lelah? Bukankah
itu
definisi yang tertukar di antara kita. Lalu tentang keegoisanmu
berikutnya.
Rasanya terlalu sempit kudefinisikan berlalumu sekadar mencari sekardus
oleh-oleh berisi biskuit, permen, coklat, atau bahkan lembaran uang yang
masih
wangi. Ku dengar hidup di rantau itu keras, apalagi kau harus bertahan
seorang
diri. Seperti yang kau bilang “Jikapun kita belum bisa membahagiakan,
setidaknya jangan biarkan mereka bersedih.” Dan tiap orang punya cara
sendiri untuk memenuhi keduanya. Kau dengan caramu dan aku dengan
caraku. Ku yakin kau lebih paham dengan definisinya.
Dan
tentang
rasa iriku pada masa lalu, itulah bukti penemuan definisi “bahagia”
yang telah salah kuterka. Aku jadi teringat tentang definisi yang pernah
ku dengar, orang bilang ada dua macam kebahagiaan. Pertama,
kebahagiaan yang kita rasa saat itu juga. Atau kedua, kebahagiaan yang
baru kita
rasa saat ia telah berlalu. Dan kadang kita terlalu serakah untuk
menuntut memiliki
keduanya.
Ini seperti
hujan yang berhambur begitu saja dengan derasnya tiap waktu di bulan-bulan
penghujan. Atau seperti embun yang turun tiap pagi tanpa kenal musim. Atau aku
hanya salah menafsirkan dingin rintik salju. Ia benar ada jika musimnya telah
tiba, tapi di belahan bumi sana sehingga aku hanya mampu menerka dan menduga.
Meski rindu ini terlalu sempit jika kumaknakan dalam bingkai seperti ini, tapi aku
yakin kini tak salah lagi mendefinisi. Inilah yang orang bilang ‘rindu’.
Ah, kupikir-pikir lagi penyebabnya. Apakah kau yang terlalu cepat menjadi dewasa? Atau aku mengidap keterbelakangan kedewasaan? Bahkan mungkin tulisanku ini adalah salah satu gejalanya yang telah mengendap sejak bertahun-tahun lalu. Dan sayangnya lagi, kini baru terdeteksi.
***
Teruntuk
22 Agustus, menyayangi dan merindumu karena Allah. Terima kasih
untuk setoples kisah, yang tak mampu ku tulis satu persatu. Yang selalu
ingin ku habiskan, isi lagi, habiskan lagi, dan terus mengulangnya. Tak
ingin mereka menjadi remah yang entah tak jelas lagi rasanya.
Berkah Allah semoga selalu menyertaimu....
Sugeng Ambal Warsa :)
Tegal, 22 Agustus 2014
Berkah Allah semoga selalu menyertaimu....
Sugeng Ambal Warsa :)
Tegal, 22 Agustus 2014
0 komentar: