Tentang "rumah"

05.22 0 Comments

Sudah lama rasanya ingin membuat coretan tentang ini, tapi lagi-lagi gagal menuangkan serbuk-serbuk huruf dengan rapi di atas kertas. Tapi kali ini saya ingin mengabadikannya di sini. Alasannya sederhana, seperti hari ini saya kerapkali mengenang hari-hari di masa kecil saya dulu, mungkin di masa depan saya akan mengenang hari-hari ini. 

Ini adalah tentang sebuah tempat. Tempat yang dulunya sama sekali tak saya minati untuk bersinggah.
Inilah sebuah “rumah asing” yang sejak setahun yang lalu menjadi atap bernaung dan lantai berpijak cerita ini. Sebetulnya saya terlalu kaku untuk menjadi salah satu penghuninya. Rumah yang sering dicibir karena seolah tak berpenghuni. Kreeeet…saya membuka pintu, setidaknya mengecek ada apa di dalam sana. Ternyata gelap. Ternyata beberapa perabot mulai usang. Dan lengkap dengan langit-langit dihiasi sarang laba-laba. Okey, saya akan bercerita tentang kolong dari atap cerita “rumah asing” ini. Tentang semua rasa. 

Pahit getir manis asam, setiap perjalanan pasti punya rasa dan dinamikanya masing-masing. Semua orang dimanapun di dunia ini pastipun memilikinya. Hanya saja mungkin karena saya seorang perempuan, ah ada apa dengan perempuan? Adalah premis pertama bahwa saya seorang perempuan, kalau itu sudah jelas bahkan sejak saya lahir ke dunia ini. Sedangkan premis kedua adalah bahwa perempuan itu cenderung lebih mengedepankan perasaan daripada logika. Nah disitu kadang saya merasa heran dengan premis demikian yang selama ini diiyakan oleh sebagian besar orang. Lalu dari situ dapat ditarik sebuah konklusi bahwa saya lebih mengedepankan perasaan daripada logika. Disitulah kadang saya merasa ada pemakluman atas segala sikap saya selama ini (haha). Dan bicara tentang rasa, mungkin bisa dibilang saya punya hobby memetaforakan atau bahkan menghiperbolakan apa yang saya rasakan. Saya paham terkadang ini bisa jadi senjata tersendiri bagi saya, tapi tak mengelak juga bisa jadi bumerang bagi saya atau bahkan orang-orang di sekeliling saya. Maka saya sudah siap dengan segala konsekuensi atas hobby saya yang satu ini, hehe. Duh, out of the topic.

Kembali ke topik cerita. Ketika pertama kali kaki ini menginjak ke dalam rumah ini, saya berbicara dengan benda mati ini yang saya anggap dia cuma pura-pura tuli dan buta ketika saya datang. Hei, jangan berharap saya sesempurna yang kamu inginkan. Saya bukan seorang yang pandai beretorika, berdiplomasi, apalagi berorasi. Hei, jangan mengira saya masuk sini karena saya sungguh-sungguh mencintaimu dan berjanji tidak akan menduakanmu apalagi meninggalkanmu. Saya juga bukan seorang yang piawai menggombalimu ataupun mengagung-angungkanmu di hadapan orang-orang. Hei, saya tidak mau memberi harapan terlalu tinggi bahwa saya akan membangunmu, perindahmu, menghiasimu sedemikian rupa. Kamu tahu betapa  kaki ini maju mundur, betapa hati-hatinya saya mendengar celotehan kanan kiri. Ada-ada saja ‘bisikan’ datang, ada yang berkata “ayolah”, “masuklah”, ada juga yang berkata “kamu mau apa kesana”, “cuma mau menuhin kuota rumah ya?”, bahkan sampai berkata ‘’mau numpang berapa lama?” sambil melayangkan senyum nyinyir.

Sekadar alasan yang klise untuk menyumpal telinga dari semua persepsi orang-orang, dari semua ketakutan, keraguan dan kekhawatiran yang muncul dari dalam diri. Saya harusnya paham untuk apa menginjakkan kaki di sini agar gerak ini adalah atas dasar kepahaman, bukan sekadar taklid. Dulu saya bahkan sempat mengelakkan diri untuk kembali melanjutkan langkah ini, saya katakan bahwa ada pihak yang telah salah paham. Suatu hari saya nyasar masuk ke kolam renang hingga tubuh ini basah terciprat air, sekali lagi basah sekadar terciprat air. Tapi lantas entah siapa menganggap saya memang perenang handal sebab kebasahan itu. Disitulah kadang saya merasakan awal kejanggalan semua cerita ini.
Tapi kini nyatanya saya sudah di sini. Diam-diam saya membuat perjanjian batin sebagai alibi yang logis atas penerimaan keputusan yang saya pilih. Perjanjian yang biarlah Allah saja yang menjadi saksinya. Saya memutuskan untuk memasukinya, menerimanya, membiarkan semua penyangkalan membaur dengan segala rasa.

Senyap, hanya senyap yang saya rasa di dalam sini atas segala kecamuk batin yang tersisa. Ah tapi dengan diam, sekadar memandangi sekeliling ruang, dan memaki keadaan tanpa melakukan apa apa adalah sikap paling bodoh untuk dipilih bukan? Betapa sebuah peluang berharga. Sebuah tantangan seberapa ikhtiar untuk menjadikan rumah ini sumber keteduhan, minimal untuk penghuni di dalamnya terlebih untuk penghuni ‘’rumah tetangga“, atau “rumah-rumah” lain di sekelilingnya atau lebih luas lagi untuk semua orang.

Rasanya baru kemaren sore saya meraba-raba tembok “rumah asing” ini mencari saklar lampu. Lambat laun tubuh ini mulai terbiasa dengan suhu ruangan ini. Saya sadar bahwa tidak etis untuk terus menerus mebandingkan rumah ini dengan tempat lain, menuntut harus seperti ini seperti itu. Jika ternyata lampu rumah mati, bukankah tugas penghuninya yang mencari tahu apa penyebabnya, mungkin memang kita harus membeli lampu lalu mencari meja atau tangga sebagai pijakan untuk memasangnya. Mungkin kita harus mengecek aliran listriknya barangkali disitulah sumber masalahnya.

Atas nama kebersamaan dan perjuangan di rumah ini, entah rasanya raga bahkan hati ini terlanjur terpaut. Aku terlanjur mencintai rumah ini. Bahkan hari  inipun saya masih belum banyak berubah, membersamai penghuni lain di rumah ini dengan apa adanya diri ini, anak kemaren sore yang mungkin terlalu ingusan untuk menghuninya. Seperti rumah ini telah menerima dan menaungi saya apa adanya, saya juga akan menerima dan menghuninya apa adanya. Dan jika kamu masih mau mendengar celotehan anak ingusan ini, ingin meneriakimu sekali lagi. Hei saya ingin memperjuangkanmu sebaik-baik yang saya bisa! 
Karena saya percaya bahwa Allah tidak akan sembarangan menyetting latar dalam babak hidup yang sudah tertulis naskahnya.

Erna

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: