Ini (bukan) Penghujung Jalan Kita

03.36 0 Comments

Kita telah jauh melangkah, meniti waktu berlalu. Jauh? Ah tak seberapa memang jika dibandingkan jalan dakwah Rasul beserta para sahabatnya, tak pula sebanding perjalanan Nabi Musa bersama Harun, apalagi Nabi Nuh yang selama ratusan tahun mengisi siang dan malamnya untuk dakwah. Tapi seberapapun itu yang telah kita lalui, mungkin menjadi bagian episode dakwah kita yang insha Allah, semoga Allah masih mengamanahi kita untuk menjadi pemerannya. Sekali lagi ini bukan ending saudara-saudariku, tapi satu babak yang kita lalui bersama. Dan entah nantinya kita masih berada di panggung yang sama atau mungkin saja, bahkan sangat mungkin di panggung yang berbeda, biarlah skenario Allah yang akan menuntun kita.

Maka sebelum benar-benar sampai di penghujungnya, saya ingin sedikit bernostalgia, memutar ulang episode-episode yang telah berlalu (kalau di OVJ aja ada episode spesial “di buang sayang”, yah mungkin ini sejenis itulah, haha). Dan jika kupikir-pikir ternyata rangkaian episode kita ko mirip kaya yang di film-film. Coba deh perhatiin, mayoritas alur di film itu berawal dari suasana lucu-lucuan, bikin ketawa penontonnya, lalu lama-lama udah mulai serius, kemudian ada kalanya muncul suasana ketegangan, sampai bikin gemes penontonnya. Setelah itu? Udah bisa ketebak, suasana melankolis mulai muncul, bisa macam-macam bentuk adegannya, mulai dari salah paham, kehilangan seseorang, pengorbanan, hilang kepercayaan hingga kekecewaan, dan lain sebagainya. Tapi jangan salah dulu saudara-saudari, di episode-episode inilah biasanya yang digandrungi para penonton (ga tau hasil survey dari mana, hehe, sekadar pendapat orang-orang sekitar). Yah, kalau menurut saya, di bagian ini kita bisa melihat seberapa feel  yang dibawa masing-masing tokoh (ah bahasamu), atau bolehlah saya mengutip kata2 seseorang, bahwa dari sinilah muncul “figuritas” dan “pemakluman”. Dan setelah bagian yang penuh isak, mengharu-biru, menghabiskan berkotak-kotak tisu (haha...lebay, cukup sehelai tisu lusuh, eh apa lagi ini?) lalu sampailah pada episode-episode yang tak kalah ditunggu-tunggu. Yap, it’s ending. Dan ending ini ada 3 kemungkinan, yaitu sad ending, happy ending, dan satunya lagi nggantung, alias membiarkan penontonnya sendiri yang melanjutkan akhir cerita, karena penghujungnya tidak secara jelas mau sad atau happy. Nah lho? Jadi nyeritain alur film ini mah....haha.

Kembali lagi tentang jalan dakwah kita. Tak jauh beda bukan jika kita lihat fasenya? Fase senang-senang, lalu fase jenuh, hingga fase futur. Ingatkah dulu di awal-awal kepengurusan? Penuh semangat mengagendakan syuro, ketika mulai saling memahami satu sama lain, bahkan mungkin tanpa sadar terlarut dalam senda gurau berkepanjangan. Di dalam PKM bersama ataupun belakangnya, di PKM Joglo (yang harus lebih bisa ngerasin suara, apalagi pas syuro di tengah hujan... :) ), bahkan berlanjut syuro on line. Membahas ini itu, evaluasi ini itu, merencanakan progja ini itu, misi penyelamatan, dan lain sebagainya. Lalu setelah itu kita mulai belajar menjadi pembelajar yang baik dengan beberapa tempaan, kita belajar lebih bijak, lebih solutif, belajar lebih menguatkan pudak, memantapkan langkah, memperbanyak tengadah tangan kepada-Nya. Bahkan kita harus menyaksikan daun yang gugur sebelum ia menguning (aissh apalagi ini?). Juga kisah-kisah lain yang menuntut kita untuk memperluas ruang toleransi, tentang arti kefahaman, tentang penyitaan waktu, tentang respektabilitas, tentang kekeluan, tentang kecemburuan, tentang kebandelan, bahkan barang kali tentang kekecewaan. Entah mungkin memang begitulah siklusnya, begitulah fase yang harus kita lewati.

Saudara-saudariku, saya tahu, saya sadar, bahwa secara umur kefahaman di jalan ini, saya masih sangat sangat muda, masih dangkal pemahamanku di jalan ini. Di sini, beriringan dengan orang-orang hebat seperti kalian, kadang saya takut. Saya takut terperosok dalam jebakan megalomania. Jika kalian adalah parfum. Bukankah ketika berada di tengah kerumunan maka semua orang akan kecipratan keharumannya? Mungkin orang lain akan sulit mengenali dari mana keharuman itu berasal. Saya takut tak bisa meluruskan perasaan, takut pada tipuan jiwa, takut tak bisa membedakan niat murni dan ambisi.

Dan kalau boleh saya cerita (ini kisah paling menohok menurut saya). Pada suatu ketika, saya melihat mata saudari-saudariku berkaca, bahkan kaca-kaca itu pecah, mengalir di hadapan mata saya. Tapi saya? Hanya diam, saya tak tahu harus bagaimana. Tak ada benih untuk membuahkan air mata. Tapi sepulangnya....banjir, karena saya tidak begitu tahu apa yang salah dengan diri ini, atau kenapa kalian bisa sampai seperti itu. Lantas saya berfikir, ah betapa pemahamanku ini masih amat dangkal, betapa ghirah ini masih lemah. Sejak itu saya lantas tersadar pada teori parfum itu. Sungguh, rasanya sesak. Tapi biarlah sesak itu jadi bahan renungan, jadi cermin diri. (tarik nafas.....). Biar saya harus sadar diri! Dan saya rasa saya terlalu telat menyadarinya beberapa waktu yang lalu di momen yang beebeda... :'(

Ah..saya ingin berkisah tentang Ka’ab, seorang sahabat Rasul yang melakukan kesalahan dengan tidak turut dalam perang Tabuk. Namun ia bertekat untuk menghadap Rasulullah dan mengatakan yang sebenarnya. Ia tidak mau melakukan kebohongan sebagaimana dilakukan delapan puluh orang lainnya yang telah menghadap Rasulullah dengan alasan serta sumpah palsu. Ia memutuskan untuk berkata apa adanya, tanpa pembelaan, tanpa alibi. Lantas iapun siap menerima apapun hukumannya. Dan akhirnya iapun lalu rela terasingkan sementara waktu, berteman sepi menebus kesalahannya.

Saudara-saudariku, jikapun saya, kita, mungkin tak mampu semulia Ka’ab. Tapi satu yang saya ingat, bahwa istiqomah itu bukan tak pernah salah, tapi ketika kita melakukan kesalahan kita tau kemana kita harus kembali. Maka ketika saya salah, dan saya bingung arah jalan pulang (kaya lirik lagu....eiiits merusak keharuan..), plis, help me, pandulah saya. Mari kita saling menepuk satu sama lain.
Semoga Allah senantiasa menggerakkan hati-hati kita untuk tetap istiqomah.
Hopefully, it will be happy ending story, khusnul khotimah di jalan ini
Sampai jumpa di musyar :)
*to be continued.... insha Allah

Semarang, 2 Januari 2014

Erna

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: