Bijaklah!

12.29 0 Comments

Tertawa tanpa sadar bahwa sejatinya tak ada yang kita tertawakan
Menangis  tanpa tahu pasti apa yang sedang ditangisi
Atau kita tak tahu sedang tertawa atau menangiskah kita bahkan
Karena ekspresi kadang nisbi
Karena ekspresi kadang penuh kepuraan

Hidup ini, tidak semua hal bisa dijelaskan dengan logika
Tapi manusia, kadang berlagak makhluk paling peka sedunia
Segala menuntut penjelasan
Segala prasangka terus saja alirkan pertanyaan

Bijaklah!
Kadang tak semua yang kau dengar lantas turut kau ucapkan

Bijaklah!
Kadang tak semua rasa penasaran begitu saja kau pertanyakan


Gambar: http://1.bp.blogspot.com


0 komentar:

Surat Cinta untuk Kamu Part 2

02.16 0 Comments

Suatu sore di awal bulan kesembilan tahun lalu, langit sedang tidak mendung tapi juga tidak begitu cerah. Adalah sebuah forum di pelataran joglo yang mempertemukan beberapa gelintir mahasiswa, termasuk aku yang turut  duduk berjibaku. Pelataran yang tidak begitu luas itu jadi saksi bisu forum yang cukup “hangat”. Sejauh pemahamanku yang masih dangkal ini, pembicaraan dimana sebuah pertanyaan dijawab dengan pertanyaan, dan kembali diputar pertanyaan lagi membuat telinga bising. Aneka lontaran sindir bahkan nyinyir yang membuat  perut yang tadinya laparpun mungkin sontak akan menjadi kenyang seketika. Lidah atau bahkan mungkin tanganpun bisa gatal ingin turut andil berkeruh ria.

Sayangnya, menjadi ahli retorika sama sekali bukan bakat yang kumiliki. Sekadar pertanyaan dan tanggapan sederhana yang sesekali turut kulontari. Berbeda dengan seorang berkacamata yang duduk persis di sebelahku. Dia pandai berargumentasi, lihai bercakap membela diri, dan berdebat pun bukan hal asing lagi. Sejauh yang ku kenal, dia selalu di garda depan membela hal yang seharusnya ia bela. Tapi sedari tadi hanya duduk diam sambil sesekali membuka gadgetnya di saat forum mulai “berhangat-hangat ria”.

Matahari sudah tak nampak, tenggelam ke paraduannya. Kami pun berhambur ke peraduan masing-masing. Forum berakhir. Tetiba seorang yang kutunggu suaranya sedari tadi menepis segala tanda tanya di benakku yang datang dari diamnya. Bahwa dia sengaja tak bersuara lantaran belum menuntaskan satu juz bacaan Al-Qurannya. Bahwa begitu takutnya ia jika bicaranya hanya akan menambah kekeruhan dan mengeluarkan apa yang tak seharusnya ia keluarkan. Bahwa sesungguhnya ia tahu yang menyimpang perlu diluruskan, tapi apa gunanya ketika kita sudah tak saling mendengar. Betapa indah dia mempraktikkan teori ketika lisanmu tak lagi diperduli maka cukup biarkan hati mengingkari.

Dari yang mencintaimu aku belajar bahwa agama bukan alat pembenci namun alasan untuk bertoleransi. Bahwa beragama adalah memperlakukan semua orang sama tanpa prasangka. Mencintai apa yang kita yakini tak berarti memusuhi yang lain. Dan lagi, untuk apa amanah ada jika ia hanya berujung menambahkan saling benci bukan?

Tetiba ada rasa malu yang merasuk atas status mahasiswa muslim yang internalisasinya dipertanyakan. Sebagai muslim tak sepatutnya paradoks dengan pedoman yang dipegang, ialah apa yang sudah lengkap tertuang dalam Al-Quran. Begitu mudahnya Allah membolak-balikkan hati. Dan memang tak melulu lewat hal-hal dramatis. Entah korelasi apa yang pada akhirnya mengubah babak baru pemikiran seorang yang memuarakan segala ketidakpahaman pada kejenuhan dan ketidakpedulian. Sederhana, ringan, tapi begitu mengena.

Mungkin kadang seseorang butuh jeda, seperti rangkaian kalimat yang butuh spasi agar bias dimakna. Dan pada akhirnya, semua bermuara pada niat semua bermula. Bahwa aku mulanya hanya ingin mengenalmu. Bahwa aku mulanya hanya mencoba tak menjadi yang tak peduli dengan keberadaanmu. Bahwa aku mulanya hanya berdiri menentukan pilihan dalam keterpaksaan.

Lantas kupikir lagi. Kucari-cari lagi. Ternyata aku hanya belum benar-benar paham apa yang kau ajarkan. Ternyata aku hanya mengkerdilkan apa yang selama ini tak mampu kulihat.

Tentang undangan syuro yang kuabaikan. Sesungguhnya syuro itu lebih mendekati kebenaran dalam mengambil kesimpulan. Syuro itu  menggali ide-ide cemerlang, memperoleh masukan pemikiran,. Syuro itu terhindar dari kesalahan. Syuro itu terjaga dari celaan. Syuro itu selamat dari penyesalan. Syuro itu persatuan di antara hati. Syuro itu mengikuti atsar salafus-shalih. Barangkali seorang yang mengatakan itu tidak penting hanyalah orang yang belum mengerti atau belum mampu memberi.“Tidak ada kebaikan dalam suatu urusan yang diputuskan tanpa dengan musyawarah.” Seperti ucap sahabat Umar Bin Khattab mengingati.

Tentang ajakan diskusi-diskusi mengupas realita yang sekadar kuanggap perkumpulan wacana. Lagi-lagi anggapan itu hanya karena seorang yang belum mengerti. Seperti cukilan kredomu, mengajari tuk menjadi penghitung risiko yang cermat, tetapi bukan orang-orang yang takut mengambil risiko. Maka senantiasalah mengisi hari-hari dengan diskusi-diskusi yang bermanfaat dan jauh dari kesia-siaan, serta kerja-kerja yang konkret bagi perbaikan masyarakat.

Tentang berdiri bersama bersuara di depan gedung pemerintahan yang kuanggap itu nyanyian tanpa makna. Dan kicau-kicau di social media, berpeluru tagar dan bombardir share informasi sebagai laras senjata yang kuanggap terlalu lucu untuk mengubah dunia. Ah, seorang yang berkata begitu hanya belum tahu apa itu perjuangan. Berdirinya mereka atas dasar diskusi dan kajian yang matang, menimbang perkara haq dan bathil. Bahwa bersuaranya mereka bersandar pada keyakinan "Kezhaliman akan terus ada bukan karena banyaknya orang-orang jahat tetapi karena diamnya orang-orang baik." Bahwa kicau-kicau dan tagar memenuhi dunia maya atas dasar paham, bukan sekadar taqlid atau gaya-gayaan mengikuti trending topik. Boleh kucukil lagi kredomu, bahwa mereka “pemuda yang kritis terhadap kebatilan.”

Pada akhirnya aku harus mengungkapkan ini. Sekali lagi pada hal-hal sebelumnya aku memang mudah jatuh cinta. Namun seiring bergulirnya waktu, maaf aku memang masih gagal mencintaimu. Titik kulminasi rasa cinta adalah ketika sebuah pengorbanan terkonversi menjadi kebahagiaan terbesar yang bisa kita rasakan. Kata orang cinta adalah memberi kan? Tapi sayangnya aku belum memberi apa-apa untukmu.

Padahal mencintaimu itu sederhana, cukup dengan berusaha biasa saja. Berusaha biasa menjadikan kemenangan Islam sebagai jiwa perjuangannya. Berusaha biasa menjadikan kebathilan sebagai musuh abadinya. Berusaha biasa menjadikan solusi Islam sebagai tawaran perjuangannya. Berusaha biasa menjadikan perbaikan sebagai tradisi perjungannya. Berusaha biasa menjadikan kepemimpinan umat sebagai strategi perjuangannya. Berusaha biasa menjadikan persaudaraan sebagai watak muamalahnya.

“Wahai orang-orang yang beriman! Maukah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab yanag pedih? Dan kamu beriman Kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad dijalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebiih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS Ash-Shaff: 10-11)

Ayat yang indah bukan? Para ulama mengatakan, ketika Allah memulainya dengan memanggil orang-orang yang beriman dalam suatu firman-Nya, maka betapa berharga apa yang hendak difirmankan berikutnya. Hakikat jihad adalah bersungguh-sungguh mengerahkan seluruh tenaga dan potensi untuk merealisasikan segala yang dicintai-Nya, dan menjauhi segala hal yang dibenci-Nya. Jika dengan mencintaimu menumbuhkan kesungguhan tuk semakin mendekatkan diri dengan segala yang dicintai-Nya, dan menjauhkan diri dari segala hal yang dibenci-Nya, maka aku yakin ia tak lain salah satu wujud perniagaan itu. Insya Allah.

Untukmu KAMMI, dari seorang mahasiswa muslim yang sedang berusaha benar-benar mencintaimu.

Gambar: https://pkkammites.files.wordpress.com

0 komentar:

Bapak

23.33 0 Comments

Bapak, putrimu sudah besar ya.

Dongeng-dongeng yang sering kau ceritakan sebelum tidur, rasanya baru kemarin kudengar. Kancil si pencuri timun, ande-ande lumut beserta para klenting, si ayam jantan yang tanduknya dipinjam si kambing, kakek tua dan cucunya yang menyamar jadi tonggeret, dan banyak lagi artis-artis dongeng yang kau perkenalkan. Di panggung bewujud teras tanpa bangku, ketika malam hanya berteman temaram lentera bercat biru. Mereka masih terjebak dalam labirin memori kecilku. Masih berkelibat, seolah terngiang lagi di telingaku.

Bapak, putrimu sudah besar ya.

Sarung lusuh itu, aku masih ingat dulu sering ku ikatkan ke kursi-kursi dan jadilah gubuk ajaib. Dulu kau bilang aku si kecil yang hebat dan lucu. Lalu kau angkat aku dan daratkan di perutmu. Kau rebahkan diri dalam bentangan sarung itu, lalu kita menyebutnya perahu. Bergoyang ke kanan dan kiri seolah diterjang gelombang di samudera biru. Sarung itupula yang kau gulung-gulung dan kau tarik-tarik, lalu jadilah boneka hasil sulapanmu. Pak, kau memang pembuat mainan nomer satu.

Bapak, putrimu sudah besar ya.

Bunyi berisik kolak dan arit saling beradu yang menggantung di belakang pinggangmu,  layaknya simfoni kecil pengiring semangat tiap tapak langkahmu. Barangkali itu sebabnya panas terik hujan rintik tak kau rasa ya pak? Bapak selalu terlihat begitu hebat berdiri di atas bajak kayu, lalu sapi-sapi itu berlari kesana kemari. Menghamburlah lumpur sawah. Tak kalah gagah dengan para koboi yang berpacu di atas kudanya. Putri kecilmu hanya bisa turut mengekori sapi-sapi turun ke sungai, merumput di tepian tanah lapang, serta menggiring mereka ke kandang. Lantas sesekali bersembunyi di balik tubuhmu jika sapi-sapi itu mulai ngambek ku jaili. Kupikir mereka memang kadang pilih kasih. Selalu menurut padamu, tapi padaku? Sebaliknya. Tapi kini, sungai-sungai telah semakin kecil debitnya. Sapi-sapi itu pun sudah tak berbekas lagi kandangnya. Orang-orang lebih memilih sapi-sapi mesin menggerus sawah mereka, tapi kolak dan aritmu tetap saja bersimfoni merdu.

Bapak, putrimu sudah besar ya.

Rasanya baru kemarin, kemeja batik cokelat itu kau kenakan mengambil rapor dengan  seragam putih merahku. Aku, putri kecilmu yang sedari dulu memang pelupa dan tergesa-gesa. Mulai dari mencarikan tongkat bambu, bongkah tanah liat, hingga segulung kayu. Betapa Maha Baiknya Tuhan, Dia mengirimkanku seorang bapak yang selalu siap siaga.

Rasanya baru kemarin, kemeja itu pula kau kenakan mengambil rapor dengan seragam putih biruku. Aku, putri kecilmu mu nan lugu yang mencari-cari diri. Demi seragam itu kau relakan putra kesayanganmu menjeda. Ah bukan, karena seragam itu putri kecilmu semakin bangga. Bahwa ada lelaki-lelaki yang senantiasa melindungi. Ada lelaki-lelaki yang dalam bahasa diamnya terus peduli. Tidak ada hal yang lebih indah untuk ku syukuri. Terima kasih, mas, pak!

Rasanya baru kemarin, melihat sebahagia-bahagia senyummu mengantar wisudaku di masa putih abu-abu. Sepucuk surat undangan tetiba membuatmu panik. Tak ada sepatu mengkilap. Tak ada kemeja apalagi jaz mewah untuk sekadar berdiri di atas panggung. Ku bilang cukup kemeja batik cokelat itu. Sepanjang perjalanan 20 km di dalam angkutan umum, tak hentinya kau bercerita. Putrimu hanya tersenyum, bapak aku baru melihat sosok ceriamu. Pak, selama ini apakah diam-diam kau sembunyi dalam ketenanganmu?

Bapak, putrimu sudah besar ya.

Pak, aku mungkin terlalu gengsi untuk kembali meminta kau perdengarkan kisah-kisah dongeng yang sejujurnya masih membawa candu rindu. Lantas kuganti bercerita betapa bahagia di rantau mengukir kisah bersama kawan dari berbagai penjuru negeri. Kau tersenyum.
Pak, aku mungkin sudah terlalu tidak lucu untuk bermain perahu ataupun berlindung di bawah gubuk ajaib dari sarungmu. Lantas sesekali aku bercerita tentang tenda-tenda setengah bulat yang ku bangun di atas gunung atau tentang perjalanan di atas kapal bersama kawan di rantau. Kau kembali tersenyum.

Pak, aku mungkin sudah jarang mendengar simfoni kolak dan arit di belakang pinggangmu. Tak lagi bersembunyi selepas menjaili sapi-sapi. Lantas akupun bercerita, berpura betapa mandiri hidup di tanah rantau. Bahwa orang-orang begitu mudah mengandalkan teknologi. Kau tetap hanya tersenyum.

Bapak, putrimu sudah besar ya.

Pak, aku kini sudah tak berseragam. Tapi aku sedang berjuang, melihatmu lagi dengan keceriaan yang sama, kebanggaan yang sama, bahkan seharusnya lebih besar. Aku kini jauh, tak nampak tindak dari pandanganmu setiap waktu.  Tapi kau selalu terlalu percaya putrimu menjaga apa yang harus dijaga, melakukan apa yang harus dilakukan. Lantas aku bertanya, kelak baju apa yang akan kau kenakan di hari itu? Kau masih saja tersenyum.

Tak ada seorang bapakpun yang tak gelisah saat putrinya berjuta kaki terpisah. Entah apa arti semua senyum itu. Barangkali sebuah isyarat kau menangkap segala yang kuceritakan tak lain alibi kerinduanku padamu. Atau seperti dulu diam-diam kau sembunyi dalam ketenanganmu, pun barangkali diam-diam kau sembunyi dalam senyum itu.

Bapak, putrimu sudah besar ya.

Dalam diam, diam-diam rinduku pun semakin besar.


Gambar: http://ayah4anak.blog.com

0 komentar: