Yang Dilimpahi Wewenang, Tapi Tak Mampu

03.30 0 Comments

Ternyata sudah hampir dua minggu saya tak mempublish satu postinganpun, sejak postingan terakhir tertanggal 7 November 2013 tentang “Belajarlah dari Dandelion”.  Ah, bisa dibilang cukup lama, atau bahkan saya harus mengakui saya ‘gagal istiqomah’ (red: istiqomah menulis). Kenapa? Tak benar-benar tahu alasannya. Yang jelas, sebenarnya banyak momen bermakna selama dua minggu ini, banyak. Tapi kemudian jemari terlalu malas menyalurkan semua yang sudah terbendung di otak ini.

Postingan kali ini mungkin bisa dibilang berbeda dari postingan-postingan yang sebelumnya. Karena saya tidak akan banyak bermain bahasa-bahasa yang puitis. Sekadar ingin berbagi alasan. Ah tidak tidak, sejujurnya saya bukan tipe orang yang suka mencari alasan sama halnya saya tidak suka menuntut alasan pada orang lain. Tapi orang bilang setidaknya alasan itu bisa sedikit meringankan rasa sesak, kesal atau bahkan amarah orang lain. Katanya sih...dengan alasan pula bisa meminimalisir adanya suudzon. Dan bukankah suudzon tanpa fakta dan bukti yang jelas itu makruh hukumnya?

Kembali ke topik awal. Kenapa ‘gagal istiqomah’? Jemari saya malas? Alasan yang tidak syar’i sekali bukan? Ada yang aneh. Sedari kemarin saya terus berfikir, salah satu nasihat Imam Syafi’i bahwa sesuatu yang paling tajam adalah lidah. Setiap apa yang keluar dari lisan kita seperti pisau bermata dua. Jika kita bijak maka akan membawa manfaat dan kebahagiaan orang lain. Tapi jika kita ceroboh maka justru ia akan membawa mudhorot dan luka pada orang lain. Lalu apa hubungannya?

Konteks lidah ini tentu saja berlaku di dunia nyata, sedangkan di dunia maya? Misalnya sosial media (facebook, twitter, whatsapp, dsb), web, blog, dan lain-lain. Bukankah status, note, tweet, postingan, dan sejenisnya itu sama halnya apa yang keluar dari lisan kita secara tidak langsung? Bukan begitu? Atau di sini ada semacam ‘pelimpahan wewenang’ dari lidah kepada jemari kita untuk menyampaikan apa yang di otak kita. Maka jemari itu bisa jadi pisau bermata dua juga bukan? Bahkan lebih dari bermata dua. Jika yang berasal dari lidah kita hanya sekadar sekali terucap, ya sudah akan berlalu tanpa bukti tertinggal kecuali yang benar-benar menancap di hati. Tapi bisa dibayangkan, lewat jemari kita, sekali kita mengetik lalu kita post/publish, komen-komenan, dan lain sebagainya. Sekali isinya membuat iri, kesal, cemburu, atau mungkin melukai perasaan seseorang, maka selama belum kita hapus maka akan menimbulkan ‘luka berkesinambungan’ ketika pembaca yang bersangkutan kembali membuka lagi, membaca lagi, dan akhirnya semakin meresapi lagi. Pertanyaannya adalah apakah jika demikian maka dosa kita akan berlipat atau berkesinambungan pula? Wallahu a’lam.

Maka semakin meluap-luap di otak ini, rasanya jemari ini semakin kaku. Terfikir sekali menggores luka apakah dengan kata maaf sekali saja mampu menebusnya. Sepertinya tak cukup. Saya tahu tak cukup, saya tahu. Tak mau juga saya mempublish kemudian menghapusnya lagi, terlalu plin-plan dan pengecut. Banyak yang ingin saya tuangkan, tentang ini itu, tapi sekali lagi jemari ini enggan menjalankan wewenang yang dilimpahkan lidah padanya. Dan saya teringat satu hal, bahwa ketika lidahpun bisa melimpahkan wewenangnya pada jemari tanga, ternyata ada organ penting lain yang berperan dalam hal ini, bahkan sangat sangat penting, ialah hati.


Semarang, 19 November 2013

Erna

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: