Hujan dan Keterjebakan

00.52 0 Comments


[]... Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).[1]

Hujan, barangkali hidung mampu mencium aroma petrichor menghambur bersama debu yang membasah pada jatuh pertamanya. Salju, barangkali kulit mampu menafsirkannya dengan kata dingin lalu menyalurkan dalam gigilnya. Angin, barangkali telinga bisa saja termanjakan dengan alunan ketenangan lewat sepoi yang menggesekkan dedaunan atau justru terusik dengan gemuruhnya. Awan, barangkali dua bola mata tak sengaja menangkap arak-arakan putih yang menggantung itu lalu membiarkan benak menebak-nebak sketsa yang dibentuknya. Dalam banyak hal, kita barangkali terlalu sering hanya mengandalkan pancaindera menjadi jaring penangkapnya. Lalu berlalu begitu saja. 

Pernahkah kita berhenti sejenak, lalu merenungi tiap detil kecil di dunia yang kita pijak barang sebentar ini? Hujan misalnya. Di tiap-tiap rintik yang turun, sebagian manusia sibuk mengutuki, sebagian lagi tak peduli, namun ada pula sebagian yang khusyuk menginsyafi. Entah bagaimana hujan seringkali dijadikan tersangka atas keterjebakan-keterjebakan manusia. Mulai dari terjebak pulang pergi kerja atau sekolah, terjebak di rumah, terjebak di emperan toko, terjebak kehabisan pakaian yang tak kunjung kering, terjebak dalam hangat selimut, terjebak dalam khayalan bak kejatuhan dongeng-dongeng dari langit,  hingga terjebak dihujani kenangan masa lalu. Terjebak, terlebih tak bisa beranjak kata mereka. 
Mari berhenti dari keterjebakan-keterjebakan yang terlalu biasa. Padahal tiap satu rintik yang turun dibersamai satu makhluk. Maka dijadikan tetumbuhan di sekeliling jatuhnya menjadi hidup. Lalu tiap sehelai daun yang tumbuh darinya bahkan dibersamai lagi tujuh makhluk. Adalah makhluk yang tercipta dari cahaya yang selalu setia pada titah Tuhannya. Malaikat namanya. Tuhan menjatuhkan tiap rintik lengkap bersama keberkahan yang turut serta. Pernahkah kita mampu menghitung seberapa banyak rintik air yang jatuh? Sebanyak itu pula Tuhan memberi kartu emas atas doa-doa yang kita pinta. Maka ketika pun kita harus terjebak ketika hujan turun, tidak ada yang lebih indah daripada terjebak di dalam doa-doa. Sebasah-basahnya. Sebanyak-banyaknya. Seraya terus mengingat dan memuji-Nya. Lalu diam-diam Tuhan akan memilihkan yang terbaik dari sederet yang kita pinta untuk tersemogakan. Allahumma shayyiban nafi’an...[2]



[1] Al-An’am (6): 59 
[2] Ya Allah, jadikanlah hujan ini bermanfaat. HR. Bukhari no. 1032, Ahmad no. 24190, dan An Nasai no. 1523.

0 komentar:

Mengunyah Buku “Lautan Langit”

05.37 0 Comments


Esok, apa yang terjadi dalam hidup kita hari ini akan kita pahami esok hari. Terus melangkah, meski melelahkan, meski menyita perasaan. Tujuan itu tidak akan kemana-mana. Jangan berhenti, nanti tidak sampai.

Esok kita akan dijatuhkan dan ditinggikan. Hari ini kita sedang menjalani sebuah proses jatuh yang dalam banyak hal di hidup kita adalah hal yang paling berat untuk kita rasakan. Jatuh dari harapan, jatuh dari impian, termasuk jatuh cinta. 

Beberapa hari ini ditemani sehampar tulisan apik bertajuk “Lautan Langit” yang ditulis seorang pemetafora kehidupan bernama Kurniawan Gunadi. Renyah rasanya mengunyah lembar demi lembar  buku bersampul dominasi  biru tenang yang terkontras putih dan jingga ini. Seperti diam tapi meletup teriak. Seperti berisik tapi tak memekakan telinga. Dua hal yang sama-sama tak bisa dipilih ataupun ditinggalkan. Nice.

Mengurai pagi. Tentang segala resah, khawatir, dan takut. Tentang bersiap. Tentang mengawali. Tentang nasihat. Juga tentang sedih dan bahagia. 
Mengurai siang. Tentang cara mengekspresikan anugerah bernama cinta tanpa menodai keanugerahannya. Tentang ketidakpekaan waktu. Tentang kesempatan. Tentang impian. Juga tentang kesalahan dan kepergian.
Mengurai sore. Tentang pelajaran sepanjang perjalanan. Tentang sebuah kesimpulan. Dan pada akhirnya tentang sebuah keputusan.

Tiap alir air akan menemukan muaranya, begitupula tiap goresan pena akan menemukan penikmatnya. Bagi para penikmat desir kata penuh romantisme. Bagi para pencari inspirasi sarat makna dibalik frasa yang mengalir bergemericik. Bagi yang mengakui keyakinan, perasaan, nalar, dan logika adalah bagian tak terpisahkan atas proses memutuskan. Bagi pencari makna hidup. Jika itu kamu, coba bukalah! Selembar saja. Acak. Lalu akan ada rasa lapar yang membuatmu ingin terus mengunyahnya potong demi potong. Selamat menikmati sampai habis...
 
Judul Buku            :  Lautan Langit
Penulis                     :  Kurniawan Gunadi
Penerbit                  :  CV IDS
Tebal buku              : 203 halaman
Tanggal terbit       :  September 2015

0 komentar:

Tentang Mencari

04.48 0 Comments


Kata bapak, mencari adalah memperjuangkan.
Memastikan seorang wanita yang telah dia curi baik- baik dari seorang bapak bersedia tetap menjadi sandera sukarelanya tanpa menghawatirkan apa-apa di esok hari.

Kata bapak, mencari adalah menghidupi.
Meninabobokan para mata kecil dengan perut terisi. Mengukirkan senyum para bibir kecil dengan dibungkus baju-baju cantik. Meneduhkan para tubuh kecil dengan atap, tiang dan dinding.

Kata bapak, mencari adalah membesarkan.
Memastikan tumbuhnya para bayi mungil. Memasangkan kaca mata kearifan untuk mengajarkan keluasan hati dan kataatan pada ilahi. Mengantarkan pikiran-pikiran kecil yang kosong agar terisi keluasan makna dunia yang tak bertepi.

Kata bapak, mencari adalah melawan.
Melawan panas terik yang menyengati ataupun hujan yang membasahi. Melawan bosan dari setupuk deadline yang menemani. Melawan lelah, peluh, dan keluh. Melawan ingin yang hanya untuk diri sendiri.

Kata bapak, mencari adalah alasan.
Alasan dia diciptakan, dikirim ke dunia. Alasan Tuhan menciptakan bahu itu lebih kuat, kaki itu lebih tangguh, lengan itu lebih perkasa, dan kulit itu lebih tahan terik hujan.

Bapak, tak hentinya mencari. Bahkan beribu-ribu terima kasih, berpaket-paket bingkisan lebaran, atau berdigit-digit nominal rupiah takkan bernilai untuk membeli secuilpun keteguhannya mencari.

Kata bapak, kelak ketika gadis kecilnya menemukan seorang yang juga bersedia menghabiskan hidupnya untuk bersungguh-sungguh mencari. Itu cukup.

Kata bapak, kelak ketika lelaki kecilnya menjadi seorang yang juga bersedia menghabiskan hidupnya untuk bersungguh-sungguh mencari. Itu cukup.

Semarang, 19 Februari 2016

0 komentar:

Lentera

04.17 0 Comments


Seperti lentera...
yang tak padam dalam remang redup kehidupan
secukup sinarnya
yang tak ragu, seberapapun pancarannya
karena redupnya simbol ketawadhu’an
karena redupnya halus menembus sudut gulita

Kitakah mereka?
Yang selalu menyematkan tujuan mulia di dada
Tentang tegaknya risalah-Nya
Tentang kejayaan umat-Nya

Sudahkah kita malu... bertekuk lutut pada keputus asaan?
Sudahkah pantang surut... walau badai apapun yang menghadang?
Ataukah  kita masih sibuk mencari alasan demi sebuah pemakluman?
Seperti lentera tanpa minyak, kosong, ada tapi tiada


Mengenang something bertajuk "lentera"
Semarang. penghujung 2013
<![endif]-->

0 komentar:

Secangkir Teh Hangat Tanpa Hujan di Balik Jendela

22.50 2 Comments


Sebuah pembicaraan. Tentang berkisah dan mendengarkan. Tentang berbagi dan terbagikan. Tentang seberkas  kebahagiaan yang terjamakkan. Tentang sebongkah kegundahan yang tererosikan. Tidak ada yang lebih menenangkan dari dua tiga cangkir teh hangat yang membuat kita duduk saling bertemu. Dan bersamaan di balik jendela sana, hujan turun kian menderu.

Tapi musim selalu berganti. Kini hanya kami berdua saling membisu. Aku dan secangkir teh hangat di hadapanku. Dan hujan di balik jendela tak kunjung turun. Sesiapa yang berkisah dan sesiapa yang mendengarkan? Sekejap kemudian kami tersenyum. Ku biarkan tangan ini mendengarkan ia berkisah lewat hangat yang menembus dinding permukaannya. Ku biarkan wangi menguap lalu mengumpul selaksa awan memenuhi langit rongga dada. Lalu dengan sendirinya bongkah gundah di dasarnya akan tererosi dihujani bahagia. 

Begitulah kami saling berkisah, berbagi bahagia dan gundah. Tanpa sepatahpun kata. Tanpa hujan di balik jendela. Tiap teguk menggenanglah satu unit kebahagiaan. Tegukan berikutnya, terkikislah satu unit kegundahan. Begitu seterunya mencipta siklus tiap satu unit masa. 

Tapi pada akhirnya, tak lain aku hanya layaknya sedang mencuri ketenangan dari secangkir teh hangat. Maka saat teguk terakhir sudah tak lagi bersisa, selalu ada reda atas hujan bahagia dan selalu ada sisa bongkah gundah yang masih melekat. 

Tinggalkanlah kesemuan itu, tidurlah! Lalu biarkan dingin lekas-lekas membangunkanmu kembali. Berkisahlah sepuasnya! Sebab Dia Mendengar lebih. Berkisahlah! Dengan ke-Maha-an Nya, bongkah gundah tak lagi tersisa sebab dihujani bahagia yang tak kenal reda sekencang apapun angin bertiup mencoba meniadakannya.

2 komentar:

Februari dan Sepotong Brownies

05.16 0 Comments

Kuucapkan selamat untuk mejadi yang istimewa. Menjadi dua angka yang berjejer di dalam sana. Adalah angka empat dan angka lima. Kita yakin tidak ada kebetulan yang tak disengaja, mungkin itu pula kenapa kalian berjejer dan saling beruntun di sana. Di dalam tempat yang istimewa bernama Februari. 

Tunggu, istimewa itu bukan karena hegemoni kasih sayang yang dispesialkan. Bisa dibilang dia bulan paling tidak konsisten diantara sebelas bulan lainnya. Dia berbeda dari yang lain. Dari sudut lain berarti keistimewaan bukan?

Februari. Konon, awalnya bangsa Romawi menjadikannya bulan penghabisan, bulan penghujung, atau bulan penutup ketika Maret sempat pernah menjadi permulaan tahun. Lantas semua berubah tatkala Januari akhirnya bertengger di depannya. 

Ini bukan tentang sejarah Februari atau seberapa istimewa Februari. Barangkali hanya efek suara hujan yang tetap berisik walau ku tutup pintu dan jendela rapat-rapat. Apa hubungannya? Entahlah, tetiba jemari ingin menuliskan dua tiga patah kata tentangnya. Lalu ia mengalir begitu saja.

Hai kalian, di sudut manapun berada. Aku teringat sebuah palung tulisan yang hingga kini masih kutunggu permukaannya. Di sana tertulis kalimat "sepotong brownies". Lagi-lagi hujan membuatku bermetafora...

Sepandai-pandai tupai melompat ia jatuh juga. Seorang koki keheranan kue coklat buatannya tak seperti seharusnya. Lembut, empuk, tebal, dengan bulatan pori adalah pengundang kegiuran yang sempurna. Padat, bantat, sedikit basah. Kali ini rela tidak rela dia harus mengakui kelalaiannya. Rupa-rupanya ia lupa menambahkan satu komposisi bahan saja, bubuk pengembang. Tapi tanpa ia sangka dikemudian hari justru yang konon tadinya resep gagal itu menjadi kue lezat yang bahkan digemari lebih banyak orang. 

Entah ini dongeng atau benar realita kue buatan sang koki di negeri antah berantah. Setidak ada sececer hikmah yang bisa kita raup di sana. Bahwa kita kadang terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Bahwa mungkin kisah yang kita ukir layaknya sepotong brownies itu. Tidak seperti yang mulanya diinginkan. Tapi selalu ada Pemberi kejutan dibalik sepahit apapun "ketidakinginan" itu terjadi.

Tidak ada yang istimewa dari ketidakberaturan tulisan ini.   
Semoga kisah yang pernah ada menjadi kue-kue lezat seperti apapun bentuknya.
Lagi-lagi, seberapa jauh seseorang pergi tidak ada yang benar-benar pergi selama nama-nama masih atau setidaknya pernah tersebut dalam doa-doa.

Kupetikkan sebuah sajak lama:

Yang fana adalah waktu. 
Kita abadi: memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa. “Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu. Kita abadi.  (Sapardi Djoko Damono dalam Perahu Kertas, 1982)


Semarang, 5 Februari 2016 

gambar: thecookierookie.com

0 komentar: