Hujan dan Keterjebakan
[]... Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak
ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah
atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).[1]
Hujan, barangkali hidung mampu mencium aroma petrichor menghambur bersama debu yang membasah pada jatuh pertamanya. Salju, barangkali kulit mampu menafsirkannya dengan kata dingin lalu menyalurkan dalam gigilnya. Angin, barangkali telinga bisa saja termanjakan dengan alunan ketenangan lewat sepoi yang menggesekkan dedaunan atau justru terusik dengan gemuruhnya. Awan, barangkali dua bola mata tak sengaja menangkap arak-arakan putih yang menggantung itu lalu membiarkan benak menebak-nebak sketsa yang dibentuknya. Dalam banyak hal, kita barangkali terlalu sering hanya mengandalkan pancaindera menjadi jaring penangkapnya. Lalu berlalu begitu saja.
Pernahkah kita berhenti sejenak, lalu merenungi tiap detil kecil di dunia yang kita pijak barang sebentar ini? Hujan misalnya. Di tiap-tiap rintik yang turun, sebagian manusia sibuk mengutuki, sebagian lagi tak peduli, namun ada pula sebagian yang khusyuk menginsyafi. Entah bagaimana hujan seringkali dijadikan tersangka atas keterjebakan-keterjebakan manusia. Mulai dari terjebak pulang pergi kerja atau sekolah, terjebak di rumah, terjebak di emperan toko, terjebak kehabisan pakaian yang tak kunjung kering, terjebak dalam hangat selimut, terjebak dalam khayalan bak kejatuhan dongeng-dongeng dari langit, hingga terjebak dihujani kenangan masa lalu. Terjebak, terlebih tak bisa beranjak kata mereka.
Mari berhenti dari
keterjebakan-keterjebakan yang terlalu biasa. Padahal tiap satu rintik yang
turun dibersamai satu makhluk. Maka dijadikan tetumbuhan di sekeliling jatuhnya
menjadi hidup. Lalu tiap sehelai daun yang tumbuh darinya bahkan dibersamai
lagi tujuh makhluk. Adalah makhluk yang tercipta dari cahaya yang selalu setia
pada titah Tuhannya. Malaikat namanya. Tuhan menjatuhkan tiap rintik lengkap
bersama keberkahan yang turut serta. Pernahkah kita mampu menghitung seberapa
banyak rintik air yang jatuh? Sebanyak itu pula Tuhan memberi kartu emas atas
doa-doa yang kita pinta. Maka ketika pun kita harus terjebak ketika hujan
turun, tidak ada yang lebih indah daripada terjebak di dalam doa-doa.
Sebasah-basahnya. Sebanyak-banyaknya. Seraya terus mengingat dan memuji-Nya.
Lalu diam-diam Tuhan akan memilihkan yang terbaik dari sederet yang kita pinta
untuk tersemogakan. Allahumma shayyiban
nafi’an...[2]
0 komentar: