Mereka yang Dihadirkan

19.13 0 Comments

Adalah mereka, orang-orang yang tetap saja tertawa atas segala candaan kita yang kadang sama sekali tak lucu, tetap memasang telinga atas keluh-keluh sepele kita yang terus mengalir menggerutu. Mereka mungkin lebih butuh didengarkan tapi tetap saja belajar tuk jadi pendengar yang baik. 

Adalah mereka, orang-orang yang tak pernah kehabisan persediaan kesabarannya, menerima dengan lapang segala tabiat dan laku-laku menyebalkan yang kita punya. Mereka mungkin tak memiliki dada yang cukup lapang tapi selalu mencoba bertahan tuk jadi seorang penyabar. 

Adalah mereka, orang-orang yang lebih memilih mengirimkan kado-kado pahit bernama nasihat dibanding sepaket pujian berbungkus kepura-puraan. Mereka bukan berlagak paham segala, melainkan mencoba peduli bahwa sebungkus manis justru mungkin akan melubangi sedangkan sebutir pahit akan mengobati. 

Adalah mereka, orang-orang yang berpura biasa-biasa saja menanggapi segala tingkah aneh kita, padahal peduli, lantas diam-diam mengetuk-ngetuk kegelisahan yang kita coba tutupi rapat-rapat. Mereka mungkin bukan orang yang peka, tapi tak menyerah belajar memahami. 

Adalah mereka, orang-orang yang terkadang berpura tidak khawatir, mencandai seraya menyikut bahu, hanya untuk meredamkan segala kecemasan yang kita punya, lalu berdecak “Hei, semua akan baik-baik saja!” Mereka mungkin bahkan sedang butuh disemangati tapi selalu berlagak menyemangati. 

Adalah mereka, orang-orang yang barangkali tanpa kita duga menjadi sebab kemudahan-kemudahan serta keberhasilan-keberhasilan dalam hidup kita lewat doa-doa yang mereka panjatkan diam-diam. Mereka bukannya miskin keinginan, melainkan menjadikan kebaikan kita sebagai bagian dari betapa kaya pengharapan yang mereka miliki. 

Mereka bukanlah fans, psikolog, konsultan, dai, detektif, supporter, apalagi malaikat. Mereka barangkali bukan orang-orang yang sengaja kita pilih, ataupun juga sebaliknya bukan kita yang menyengaja untuk mereka pilih. Melainkan merekalah orang-orang yang entah bagaimana ‘disengajakan’ hadir di sekeliling kita bahkan mungkin tanpa kita minta. 

Mereka, entah siapapun di setiap fase hidup kita, orang tua, saudara, sahabat, teman seperjuangan, atau bahkan mungkin teman hidup kita. Pada akhirnya lewat merekalah kita diajarkan bahwa Allah mencipta lalu mempertemukan tak pernah tanpa alasan. Agar kita senantiasa merayakan kesyukuran sebanyak-banyaknya, barangkali salah satunya.

0 komentar:

Tertangkap Basah

23.40 0 Comments


Tak perlulah kita merengek layaknya seorang yang putus harapan atas sesuatu yang bahkan belum kita kejar layaknya seorang yang telah mati-matian memperjuangkan. Kita hanya perlu melakukannya lebih.

Kita barangkali pernah terlampau bersenang-senang, melupakan segala kepayahan yang seharusnya kita perjuangkan. Kita barangkali pernah tertawa terbahak, tanpa menjadi peka di tanah yang kita  pijak. Kita barangkali pernah merasa tahu segala, padahal tak banyak yang kita punya dibalik tempurung kepala. Kita barangkali pernah membiarkan diri, terus tenggelam dalam kesalahan yang sejatinya kita sadari. 

Atas segala bentuk kelalaian, ketidakpekaan, kepongahan, dan kealpaan, terkadang layaknya kita terlanjur tenggelam, suka atau tidak suka, harus rela untuk menjadi basah bukan? Karena bagaimanapun sejatinya basah adalah konklusi yang telah disepakati atas premis-premis ketenggelaman dalam hidup. Maka saat kita harus tertangkap basah, bukankah lebih indah menyengaja diri dibanding didapati tanpa kita duga dan kehendaki? Sama-sama basah, tapi setidaknya dengan menyengaja kita masih punya jeda untuk memupuk kelapangan hati. Sewaktu-waktu kita memang butuh tertangkap basah. Membiarkan rasa malu menjadi memori yang akan kita kenang di masa depan. Membiarkan rasa sesal kita kunyah untuk menemani perjalanan berikutnya. 

Barangkali seperti itulah Tuhan menciptakan sepasang makhluk bernama masa lalu dan masa depan. Agar mereka, sadar atau tidak sadar, sewaktu-waktu akan saling mengingat. Seperti sekeranjang pertanyaan yang kadang tak selalu dijual dengan bonus sepaket jawabannya sekaligus. Karena ada kalanya sebuah jawaban barangkali tiba-tiba justru hadir di hadapan kita di masa depan, saat kita bahkan telah lupa apa yang pernah kita pertanyakan di masa lalu. 

Hidup ini tentu saja sudah ada takarannya masing-masing. Tidak lebih tidak kurang. Pun tiada bejana yang akan tertukar isinya. Tinggi rendah, banyak sedikit, cepat lambat, baik buruk, bukankah tugas kita berupaya meraih sebaik-baik takaran yang sudah disiapkan? Agar tiada mubazir atas takaran yang sudah dijatahkan tapi dengan ceroboh kita abaikan. Juga tak lupa bercukup-cukup membentengi diri dari keserakahan, agar tiada takaran yang sejatinya tak muat tapi dengan tamak terus kita paksa mengisi bejana yang kita punya. Lalu pada akhirnya kering ataupun tumpah yang didapat hanya menyisakan lelah. 

Atas tulisan yang salah kita eja. Atas langkah yang salah kita tapak. Maafkanlah, tapi jangan beri pemakluman. Maka memaafkan adalah menjadi sadar atas segala arus yang terlanjur keliru kita selami. Sedangkan pemakluman hanya akan menjadikan kita merasa nyaman dan terbiasa tanpa sadar bahwa diri telah basah. Bukankah tenggelam sejatinya bahkan telah mengajari kita betapa sesaknya berlatih menahan nafas pada detik-detik permulaannya?


Semarang, 13 Maret 2016

0 komentar:

Bayang

03.21 0 Comments

Perlawanan yang paling sulit adalah melawan diri sendiri
Tidak bisakah seperti hujan?
Jatuh tinggal jatuh
Basah tinggal basah

Seperti terlalu rumit untuk mengukur bayangmu sendiri
Panjang pendek selalu tak pasti
Kau membungkuk, dia turut
Kau berdiri, dia tak bisa kau terka

bayang
selalu mengikuti kemanapun kamu coba lari

Semarang, 4 Maret 2016

0 komentar: