Kita Hanya

18.44 0 Comments

Hai kalian...
Apa kabar?

Seorang pernah berkata, perjuangan itu seperti nasi. Tanpa rasa sekalipun, tanpa warna sekalipun, ia telah ditakdirkan sebagai “jodoh” bagi perut-perut orang Jawa. Selalu dirindu. Mereka biasa mengenal kata lapar sebagai definisi rindu. Bahkan mereka berhiperbola bahwa betapa tak bisa berjalan di muka bumi ini dengan perut-perut “kosong”. Begitu kiranya hidup tanpa perjuangan.

Tanpa kita abaikan faktor seberapa lapar masing-masing perut, sementara mari bayangkan bahwa tiap hari perut-perut hanya akan bersua dengan nasi, nasi, dan nasi. Kebanyakan kita tentu sepakat bahwa manusia tak lain makhluk yang paling banyak maunya. Maka barangkali itulah sebabnya sayur, soto, penyet, gongso dan kawan-kawannya hadir ke bumi mendampingi piring-piring nasi.

Anggaplah kita adalah jejeran pelengkap nasi yang pernah dipertemukan dalam satu lingkar meja makan. Barangkali aku hanya layaknya cah kangkung yang kandungan zat sedativnya membuat mata mentiung. Atau bahkan mungkin mie instan yang dicap tidak baik untuk kesehatan. Sedangkan kamu barangkali layaknya gongso super pedas yang membuat air mata dan keringat bercucur deras tapi bikin ketagihan sekaligus penghilang was-was. Atau barangkali kamu penyet yang rela gosong tersentuh bara api tapi gurih lengkap dengan lalapan daun kemangi yang sengar tapi wangi. Atau barangkali kamu daging steak mewah berselempang mayonaise yang wah dengan taburan blackpapper yang membuat orang ngiler. Atau barangkali kamu buah segar dan legi yang dijejer bersama hidangan inti. Atau tak lain kamu adalah pengisi gelas-gelas licin yang basah berembun menahan dingin.
Tapi tiap perut punya porsi dan selera masing-masing bukan?

(Duh, mau baper kok jadinya laper… *skip)

Kita, pelengkap nasi yang pernah dipertemukan dalam satu lingkar meja makan…
Kita hanya orang-orang beda rasa, karsa dan rupa yang sedang belajar menjadi sosok dewasa. Bahwa bukan tentang siapa aku siapa kamu siapa dia siapa mereka. Karena justru itu menunjukkan betapa bukan siapa-siapa kita.

Kita hanya orang-orang egois yang sedang belajar itsar dan mengalahkan diri. Bahwa hidup bukan untuk diri sendiri melainkan untuk saling menggenapi dan berlomba memberi arti.

Kita hanya orang-orang buta yang seringkali berlagak melihat segala. Kita hanya orang-orang tuli yang seringkali berlagak mendengar segala. Bahwa kita hanya sedang belajar menyiapkan sepeka-peka indera dan meraup sebanyak-banyak hikmah yang tercecer atas hingar bingar, bising dan puing-puing.

Kita, yang dipersaudarakan, dipertemukan, maupun dihadap-hadapkan, mulanya hanya orang-orang asing. Maka bisa jadi sewaktu-waktupun kita akan kembali asing. Bahwa kita yang bahkan belum tahu kapan menjadi gambar yang sempurna, dengan segala yang telah terlewati mungkin hanya menjadi sekelumit kisah untuk melengkapi puzzle masing-masing.

Jika perjuangan ibarat nasi. Terima kasih, yang telah bersama tersaji.


(Semarang, 1 Januari 2016)
Teruntuk rekan seperjuangan: Elang biru, Garuda Biru, Samudera Biru, Perisai Biru, Ukhoya, Legislator Akademisi, Kabinet Muda, Sayap Sayap Langit, Punggawa on Time, Esya Fighter, BC Team, Aplikasi, seluruh ikhwah Unnes, dan Teman Bermain di bawah atap sana. Anggaplah ini pengganti belum tergenapi janji menuliskan kalian di “lembar persembahan” awal tahun ini.

Gambar: Dalam Dekapan Ukhuwah

0 komentar:

Pilihan

19.35 0 Comments

Hidup ini adalah tentang pilihan. Orang bilang begitu.
Kita tentu pernah memilih jalan dengan mengimajinasikan seperti apa kisah hidup di masa depan dan siapa-siapa yang membersamai kisah kita. Tentang manis yang kelak kita kecap hingga pahit yang mungkin harus kita telan. Kadang kita mendadak (pura-pura) dewasa dan berkata dengan bijak bahwa kita akan menerima segala konsekuensi, dengan enteng tanpa mengernyitkan dahi. Menutupi segala ketakutan akan masa depan lalu berdalih tugas kita hanya memilih jalan yang akan kita tempuh dan peran yang akan kita mainkan.

Hidup ini adalah tentang pilihan. Orang bilang begitu.
Seiring waktu, adakalanya tetap bertahan (pura-pura) dewasa di sepanjang perjalanan adalah sebuah pilihan selanjutnya. Gagah menghadapi segala apapun yang ditemui. Tetap berpegang bahwa sekalipun pada akhirnya semua tak semanis yang kita inginkan, setidaknya pun tak sepahit yang kita khawatirkan. Sebaliknya, adakalanya beralibi klasik telah memperjuangkan, memaksimalkan segenap kemampuan, memberikan selapang-lapang dada, tapi berdalih semua terlalu keruh. Lantas segenap hiperbola menyeruak, pasrah. Lalu akhirnya memilih menutup mata dan telinga, mencegah kenyataan di sekeliling tertangkap oleh indra. Bersembunyi. Tergagap membisu tanpa pembelaan. Sekali lagi inipun pilihan. Pilhan untuk tidak dewasa, pilihan untuk tidak gagah.

Hidup ini adalah tentang pilihan. Orang bilang begitu.
Dalam sepanjang perjalanan, realitanya ujian tidak hanya dipandang sempit dalam sebentuk kepahitan semata. Banyak orang lahir menjadi sosok dewasa, gagah, tangguh setelah berhasil melewati pahit perjuangan mempertahankan pilihannya. Kadang kita lupa bahwa tak sedikit orang yang terjebak dalam kemanisan yang melenakan. Sadar tak sadar keterlenaan adalah sebuah gejala kekalahan dengan ujian kemanisan. Sayangnya kita sering beralibi klasik bahwa segala kemanisan tak lain imbalan atau balasan Allah atas apa yang kita perjuangkan. Kita patut curiga. Bahwa segala kemanisan adalah ujian Allah tahap berikutnya. Karena pada hakikatnya sebenar-benar imbalan adalah di tempat dimana kita tak lagi berkewajiban untuk berjuang, di kehidupan akhirat. Lalu seberapa kemanisan pernah membuat kita lalai atas pilihan yang kita ambil?

Hidup ini adalah tentang pilihan. Orang bilang begitu.
Atas nama pilihan, seringkali kita menentukan prioritas atas dua atau lebih pilihan yang utama. Kita tidak bisa memaksa orang lain memilih hal yang sama. Pun sebaliknya orang lain. Tugas kita berupaya, tentu saja atas nama totalitas pada suatu prioritas bukanlah alibi syar’i untuk kelalaian atas pilihan lain. Karena pada hakikatnya ketika mereka sama-sama utama, maka mereka sama-sama suka diperjuangkan. Agar mendatangkan suka-Nya pula tentunya. Lagipula, perjuangan dan pelalaian bukan dua kata yang sepadan untuk dipersandingkan bukan?

Hidup ini adalah tentang pilihan. Orang bilang begitu.
Tentang perjuangan atas pilihan yang kita ambil, jika hidup ini dianalogikan sebuah permainan ular tangga maka seberapa besar peluang kita untuk menemui “petak pangkal anak tangga” sebagai sebuah akselerasi perjuangan. Tanpa bersusah melangkah petak demi petak lantas mencapai petak yang semakin mendekatkan kita ke “petak berangka sempurna” atau bisa dibilang “petak puncak akhir perjuangan kita”. Betapa manis bukan? Tapi bukankah kita juga punya sekian peluang yang sama dimana angka yang muncul mengantarkan kita bertemu “petak kepala ular”. Rela tidak rela, perjuangan langkah demi langkah yang telah ditempuh harus mundur begitu saja yang menjadikan kita semakin jauh dari “petak puncak akhir perjuangan kita”. Betapa pahit bukan?.

Tapi kembali lagi mengingat bahwa kita bukan biduk-biduk yang tiap langkah menunggu angka yang muncul dari lemparan anak dadu bukan? Kitapun percaya tentang takdir, bahwa hidup ini bukan tentang kebetulan. Bahwa Allah bukan pelempar dadu. Dia, bisa dibilang penentu angka, atau lebih tepatnya Sang Perencana Strategis. Barangkali kita pernah merasa sudah sedemikian rupa berupaya tapi kita tak kunjung sampai pada “petak berangka sempurna”. Barangkali itu hanya wujud cinta dari-Nya, bahwa Dia cinta dengan perjuangan kita. Sementara kita yang pernah merasa sedikit saja berupaya tapi beruntungnya selalu diarahkan berhenti di “petak-petak pangkal anak tangga” hingga begitu cepat mendekati “petak berangka sempurna”. Tak lekas begitu saja berbangga.

Karena (barangkali) sebuah perjuangan adalah sebentuk cinta seorang hamba kepada Tuhannya. Sebentuk alunan semesta yang menyeruak agar cintanya menjadi terdengar, terlihat, atau terasa. Agar arusnya menyembul dari dasar palung ke permukaan. Agar buihnya menjalar dari tengah samudra ke tepian pesisir. Agar desirnya mengalir dari lekuk lembah ke puncak bukit. Agar pijarnya mengggejolak dari perut bumi  ke mulut magma.
Barangkali Allah belum cinta dengan perjuangan sebagai wujud cinta kita yang kurang bersungguh-sungguh. Atau barangkali kita memang sudah bersungguh-sungguh, tapi karena Allah cinta sebentuk perjuangan kita maka dibiarkanlah kita meneguhkan perjuangan itu. Maka nikmati setiap alir proses tanpa kelenaan, hingga penghujung adalah titik ujung ikhtiar terbaik setelah melewati puncak terdekat dengan titik keputusasaan. Karena perjuangan itu nisbi.

0 komentar:

Surat Cinta untuk Kamu part 1

06.04 0 Comments


Kita percaya tentang takdir. Bahwa hidup bukan tentang kebetulan kan?  Maka perkenalkan, aku seorang mahasiswa muslim. Satu kata terakhir adalah sebuah status yang tanpa mampu akal mengingat benar-benar awal menyandangnya. Bapak pernah bercerita, dulu, di tanggal yang tertera di akta kelahiranku beliau mengumandangkan adzan di telinga putrinya. Boleh dibilang  secara de jure, sejak itulah status muslim mulai melekat atas perantara dua malaikat dunia yang menjadi madrasahku mengenal islam. Walau secara de facto setiap anak adam bahkan telah bersaksi atas rabb-Nya sebelum lahir ke dunia. Satu kata di depannya adalah sebuah status yang masih belum cukup lama kusandang. Yang satu ini aku ingat, sekitar empat tahun yang lalu 

Ah tentang mahasiswa muslim, tetiba membuatku teringat denganmu. Dua kata ini ada pada namamu. Dulu, aku sempat mengernyitkan dahi dengan orang-orang yang dengan ringan mengatakan mereka mencintaimu sedari dulu. Orang-orang yang rela mengorbankan waktu, fikiran, tenaga, materi, dan segalanya untukmu. Semacam ada intervensi mahadahsyat yang mendorong mereka memperjuangkanmu. Di sisi yang berlainan pun ada orang-orang yang tanpa ampun memaki, menghujat, memojokkan, dan mengeluarkan segara lontaran tak mengenakkan. Semacam ada pesona yang mereka ketakutan bahkan sebegitu mati-matian memperjuangkan jatuhmu. Dua kubu, entah yang mereka perjuangkan adalah berbeda, tentang kecintaan dan kejatuhan. Dimataku merela sama-sama kubu aneh atas nama memperdulikan keberadaanmu. Memangnya  ada tidaknya kamu di muka bumi sebegitu berarti apa?  

Lantas, di tengah jalan tetiba aku semakin kebingungan harus memilih kubu yang mana. Barangkali ini jebakan hidup. Ketika telinga kananku berisik oleh mereka yang kekeuh memperjuangkanmu sedangkan telinga kiriku begitu bising oleh mereka yang bersikeras menjatuhkanmu. Aku galau. Terlintas bahwa  menjadi tidak peduli adalah hal terbodoh yang hanya akan menambah kegalauan seorang yang tidak tahu apa-apa. Dan pada akhirnya kepedulian adalah sebuah keterpaksaan. Adalah keterlanjuran. Adalah keterbuntuan. Adalah jebakan konspirasi posisi dan kondisi diri.

Akhirnya aku memilihmu. Memilih mengenalmu lebih jauh. Memilih dikelilingi orang-orang yang kekeuh mencintaimu.

Sebelum-sebelumnya, aku mudah untuk jatuh cinta. Dulu, tahun  pertama dunia kampus aku begitu bangga dengan dunia keilmiahan yang kuterjuni. Dengan kesibukan, dengan keluarga baru, dengan perjuangan, dan dengan segenap kerelaan yang harus disertakan disana. Tahun berikutnya, aku begitu instan mencintai dunia kerohanian dengan segenap liku, kekakuan, “ke-eksklusif-an” kalau kata orang-orang, pun segala bombardir kebahagiaan, kepahitan,  dan keterjutan dalam membersamainya.  Hingga aku bertahan lebih. Boleh kubilang di sana adalah corong penguat komitmen dan cintaku pada dien ini. Satu lagi, dunia yang sampai sekarang masih mengakarkan cinta. Tentang perjuangan, tentang tuntutan ketangguhan. Bahwa menjadi yang di balik layar, tak benar tak berpengaruh apa-apa. Bahwa menjaga, adalah kontribusi terindah bak kebermanfaatan akar memastikan pertumbuhan dan kesuburan dahan. Tentu saja di sana pula pada akhirnya yang mempertemukanku dengan kedua kubu itu.

Setengah tahun berjalan, cinta memang tak bisa dipaksa. Entah sejujurnya, aku tak kunjung menemukan rasa cinta yang tadinya kutebak akan menjadi alur cerita. Tapi rasanya daya pahamku padamu terlalu lambat. Hambar. Dan pada akhirnya, ketidakpahaman bermuara pada kejenuhan dan ketidakpedulian.

After that, undangan syuro di pagi buta hanya pesan biasa yang kuabaikan selepas dibaca, atau cukup dibalas afwan ini afwan itu saja. Ajakan diskusi-diskusi mengupas realita, ah itu paling sekadar perkumpulan wacana. Begitu pula seruan berdiri bersama bersuara di depan gedung pemerintahan sana, kuanggap itu nyanyian tanpa makna. Apalagi sekadar turut serta berkicau-kicau di social media, betapa lucunya ingin merubah dunia nyata hanya berpeluru tagar dan bombardir share informasi sebagai laras senjata yang jelas-jelas maya.
Hambar. Aku tak bisa seperti mereka yang memberi segalanya untukmu. Titik kulminasi rasa cinta adalah ketika sebuah pengorbanan terkonversi menjadi kebahagiaan terbesar yang bisa kita rasakan. Kata orang cinta adalah memberi kan? Tapi sayangnya aku belum memberi apa-apa untukmu. Akhirnya aku ingin mengungkapkan hal ini. Maaf, aku gagal mencintaimu.

Gambar: https://fitriology.files.wordpress.com

0 komentar:

Perpindahan

05.52 0 Comments

Kata orang koleris, perpindahan itu memandang masa depan dari sudut optimisme. Bahwa yang baru adalah ruang mengintrospeksi yang lama. Lantas ia punya satu kesempatan untuk memperbaikinya.

Kata orang sanguinis, perpindahan itu mengambil keputusan seketika agar ia tak sia-sia. Tentang sesiapa di masa depan yang akan ia jumpa sebagai tempat bercerita. Tentang hal besar baru apa yang akan jadi bahan ia bercerita dan berbangga.

Kata orang plegmatis, perpindahan itu hal yang pasti akan dijumpa tiap manusia. Perpindahan adalah tentang hal yang tak mesti dijelaskan dengan alasan. Entah tentang apa ataupun dimana, akan selalu ada alir hidup untuk selalu ia dengar kisahnya. Akan selalu ada ruang untuk mengambil hikmah dari hal baru yang akan ia jumpa.

Kata orang melankolis, perpindahan itu bukan perkara sederhana. Bukan tentang seberapa repot mengemas sederet perabot yang ia punya. Tapi tentang kotak atau tas mana yang akan memuat segudang kenangan untuk ia bungkus lalu dibawa serta. Bahwa tak bijak meninggalkan seukir kebaikan dan kebahagiaan begitu saja.

Bagi siapapun, perpindahan akan selalu dekat dengan dua hal. Kenangan dan masa depan.
Maka biarkan kenangan-kenangan yang membutir makna di sudut pagi akan menjadi bagian dari masa depan. Selamat merapikan ruang catatan.
Please welcome!
Embun Peradaban  :)
*Ceritanya berawal dari gagal log in ke blog lama. Adalah sebuah keterpaksaan yg indah untuk memindah ruang catatan ke blog baru ini, semoga membuka semangat baru untuk melanjutkan inspirasi :)


Gambar: http://malingkondank.com

0 komentar:

Tentang "rumah"

05.22 0 Comments

Sudah lama rasanya ingin membuat coretan tentang ini, tapi lagi-lagi gagal menuangkan serbuk-serbuk huruf dengan rapi di atas kertas. Tapi kali ini saya ingin mengabadikannya di sini. Alasannya sederhana, seperti hari ini saya kerapkali mengenang hari-hari di masa kecil saya dulu, mungkin di masa depan saya akan mengenang hari-hari ini. 

Ini adalah tentang sebuah tempat. Tempat yang dulunya sama sekali tak saya minati untuk bersinggah.
Inilah sebuah “rumah asing” yang sejak setahun yang lalu menjadi atap bernaung dan lantai berpijak cerita ini. Sebetulnya saya terlalu kaku untuk menjadi salah satu penghuninya. Rumah yang sering dicibir karena seolah tak berpenghuni. Kreeeet…saya membuka pintu, setidaknya mengecek ada apa di dalam sana. Ternyata gelap. Ternyata beberapa perabot mulai usang. Dan lengkap dengan langit-langit dihiasi sarang laba-laba. Okey, saya akan bercerita tentang kolong dari atap cerita “rumah asing” ini. Tentang semua rasa. 

Pahit getir manis asam, setiap perjalanan pasti punya rasa dan dinamikanya masing-masing. Semua orang dimanapun di dunia ini pastipun memilikinya. Hanya saja mungkin karena saya seorang perempuan, ah ada apa dengan perempuan? Adalah premis pertama bahwa saya seorang perempuan, kalau itu sudah jelas bahkan sejak saya lahir ke dunia ini. Sedangkan premis kedua adalah bahwa perempuan itu cenderung lebih mengedepankan perasaan daripada logika. Nah disitu kadang saya merasa heran dengan premis demikian yang selama ini diiyakan oleh sebagian besar orang. Lalu dari situ dapat ditarik sebuah konklusi bahwa saya lebih mengedepankan perasaan daripada logika. Disitulah kadang saya merasa ada pemakluman atas segala sikap saya selama ini (haha). Dan bicara tentang rasa, mungkin bisa dibilang saya punya hobby memetaforakan atau bahkan menghiperbolakan apa yang saya rasakan. Saya paham terkadang ini bisa jadi senjata tersendiri bagi saya, tapi tak mengelak juga bisa jadi bumerang bagi saya atau bahkan orang-orang di sekeliling saya. Maka saya sudah siap dengan segala konsekuensi atas hobby saya yang satu ini, hehe. Duh, out of the topic.

Kembali ke topik cerita. Ketika pertama kali kaki ini menginjak ke dalam rumah ini, saya berbicara dengan benda mati ini yang saya anggap dia cuma pura-pura tuli dan buta ketika saya datang. Hei, jangan berharap saya sesempurna yang kamu inginkan. Saya bukan seorang yang pandai beretorika, berdiplomasi, apalagi berorasi. Hei, jangan mengira saya masuk sini karena saya sungguh-sungguh mencintaimu dan berjanji tidak akan menduakanmu apalagi meninggalkanmu. Saya juga bukan seorang yang piawai menggombalimu ataupun mengagung-angungkanmu di hadapan orang-orang. Hei, saya tidak mau memberi harapan terlalu tinggi bahwa saya akan membangunmu, perindahmu, menghiasimu sedemikian rupa. Kamu tahu betapa  kaki ini maju mundur, betapa hati-hatinya saya mendengar celotehan kanan kiri. Ada-ada saja ‘bisikan’ datang, ada yang berkata “ayolah”, “masuklah”, ada juga yang berkata “kamu mau apa kesana”, “cuma mau menuhin kuota rumah ya?”, bahkan sampai berkata ‘’mau numpang berapa lama?” sambil melayangkan senyum nyinyir.

Sekadar alasan yang klise untuk menyumpal telinga dari semua persepsi orang-orang, dari semua ketakutan, keraguan dan kekhawatiran yang muncul dari dalam diri. Saya harusnya paham untuk apa menginjakkan kaki di sini agar gerak ini adalah atas dasar kepahaman, bukan sekadar taklid. Dulu saya bahkan sempat mengelakkan diri untuk kembali melanjutkan langkah ini, saya katakan bahwa ada pihak yang telah salah paham. Suatu hari saya nyasar masuk ke kolam renang hingga tubuh ini basah terciprat air, sekali lagi basah sekadar terciprat air. Tapi lantas entah siapa menganggap saya memang perenang handal sebab kebasahan itu. Disitulah kadang saya merasakan awal kejanggalan semua cerita ini.
Tapi kini nyatanya saya sudah di sini. Diam-diam saya membuat perjanjian batin sebagai alibi yang logis atas penerimaan keputusan yang saya pilih. Perjanjian yang biarlah Allah saja yang menjadi saksinya. Saya memutuskan untuk memasukinya, menerimanya, membiarkan semua penyangkalan membaur dengan segala rasa.

Senyap, hanya senyap yang saya rasa di dalam sini atas segala kecamuk batin yang tersisa. Ah tapi dengan diam, sekadar memandangi sekeliling ruang, dan memaki keadaan tanpa melakukan apa apa adalah sikap paling bodoh untuk dipilih bukan? Betapa sebuah peluang berharga. Sebuah tantangan seberapa ikhtiar untuk menjadikan rumah ini sumber keteduhan, minimal untuk penghuni di dalamnya terlebih untuk penghuni ‘’rumah tetangga“, atau “rumah-rumah” lain di sekelilingnya atau lebih luas lagi untuk semua orang.

Rasanya baru kemaren sore saya meraba-raba tembok “rumah asing” ini mencari saklar lampu. Lambat laun tubuh ini mulai terbiasa dengan suhu ruangan ini. Saya sadar bahwa tidak etis untuk terus menerus mebandingkan rumah ini dengan tempat lain, menuntut harus seperti ini seperti itu. Jika ternyata lampu rumah mati, bukankah tugas penghuninya yang mencari tahu apa penyebabnya, mungkin memang kita harus membeli lampu lalu mencari meja atau tangga sebagai pijakan untuk memasangnya. Mungkin kita harus mengecek aliran listriknya barangkali disitulah sumber masalahnya.

Atas nama kebersamaan dan perjuangan di rumah ini, entah rasanya raga bahkan hati ini terlanjur terpaut. Aku terlanjur mencintai rumah ini. Bahkan hari  inipun saya masih belum banyak berubah, membersamai penghuni lain di rumah ini dengan apa adanya diri ini, anak kemaren sore yang mungkin terlalu ingusan untuk menghuninya. Seperti rumah ini telah menerima dan menaungi saya apa adanya, saya juga akan menerima dan menghuninya apa adanya. Dan jika kamu masih mau mendengar celotehan anak ingusan ini, ingin meneriakimu sekali lagi. Hei saya ingin memperjuangkanmu sebaik-baik yang saya bisa! 
Karena saya percaya bahwa Allah tidak akan sembarangan menyetting latar dalam babak hidup yang sudah tertulis naskahnya.

0 komentar:

Aku Tergeletak?

05.19 0 Comments

Masih ingatkah dulu tentang kau dan aku? Kisah tentang langkah kaki kecil beralas sandal jepit yang menghantarkan persuaan kita di surau dekat rumahmu. Betapapun lidahmu belum cukup fasih, kau bersama teman-temanmu dengan tekun melantunkanku. Betapa bahagia itu sederhana bagiku, saat kau rayapkan telunjuk kecilmu di barisan ayat-ayatku. Ah walau dulu seringkali telunjuk itu terhenti dan mengulang lagi ayat yang keliru.

Aku yakin sesederhana itu pula alasan bahagia ustadzmu. Saat mendengarkan kau dan teman-temanmu yang sudah kian tak terbata melantunkanku tiap malam bulan ramadhan tiba. Walau sesekali kau nakal. Berebut memegang microfon, berebut giliran, berlomba sesiapa khatam duluan, hingga candaanmu kerap tertangkap pengeras suara surau. Betapa lucunya, entah kau memang polos atau pura-pura polos bahwa kelucuan itu tak pernah terdengar?

Waktu berlalu, ramadhan berikutnya datang dan datang lagi. Mungkin waktu mulai memakan kepolosanmu. Atau mungkin kau mulai tahu betapa mulianya melantunkanku. Ustadzmu atau mungkin bapak ibumu telah memberi tahumu tentang rahasia itu. Lalu kau mulai khusyuk melantunkanku bersama teman-temanmu. Tapi kini, aku ditemukan tergeletak di ruang masa kecilmu.

Mungkin benar bahwa tidak ada yang lebih lapar daripada waktu.
Lihatlah, aku lusuh bahkan terlebih telah rombeng tubuhku ia makan. Aku ingin sekali menanyakan tentang hal ini kepadamu.

Apakah mungkin karena kini kau bukan lagi bocah kecil yang punya cukup waktu untuk bercengkrama denganku? Bahwa aku harus mentolerir segala kesibukanmu itu. Tapi apa kau lupa pesan ustadzmu tentangku? Bahwa aku bukan sekadar pengisi waktu senggang yang bahkan menurutmu tak kau punya sekarang. Jika benar begitu, betapa sedihnya menjadi yang terlupa oleh orang sesibuk dirimu itu.

Atau mungkinkah aku tak lebih berarti dibanding “papan elektronik” yang membuat jemarimu bak tertarik magnet mengalihkannya dari permukaanku? Bahwa sekali jemarimu merayap di sana kau bisa membaca seisi dunia. Bahwa di sana kau bisa membuktikan diri sebagai makhluk sosial yang “sesungguhnya”. Bangun tidur kau baca, siang hari kau tatap, hingga malam menjelang tidur lagi tak pernah luput perhatianmu darinya. Jika benar begitu, betapa irinya menjadi yang tersaingi oleh benda sebermakna itu.

Selapang-lapangnya alasan yang kuterima adalah bahwa mungkin kau hanya lupa dimana dulu kau menyimpanku. Bahwa ketika kau begitu rindu tapi tak jua menemukanku, lalu kau putuskan menggantikanku dengan yang baru. Atau ternyata yang menyita perhatianmu di hadapan “papan elektronik”mu itu tak lain adalah aku. Kau selipkan aku sebagai fitur primadona diantara yang lain. Karena diam-diam ternyata kau ingin membacaku dimanapun dan kapanpun lewat papan kecil itu. Semoga saja. Jika benar begitu, bagaimanapun sungguh aku bisa berbahagia sekarang.

Dariku, yang termakan waktu dan tergeletak di ruang masa kecilmu.

Tegal, 28 Februari 2015

0 komentar:

Kami tengah Kau ingatkan

05.18 0 Comments

Kami tengah menyelami waktu hingga lisan tak lagi terbata mengeja kata
hingga kemudian menjadi penutur yang cantik
Tapi tiba-tiba kami kelu tanpa tahu sebabnya
Kami tengah asyik menuliskan huruf demi huruf, kata demi kata
hingga kemudian menjadi untaian paragraf yang apik
Tapi baru saja kami menulis titik tanpa tahu huruf apa selanjutnya
Kami tengah girang berjumpa hamparan lahan di tengah kembara
hingga kemudian kami tumbuhkan barisan tegak  nan menghijau di bawah terik
tapi hujan tak turun dan kami tak tahu cara kembali mengairinya
Bak sisypus bersusah payah mendorong batu besar ke atas bukit Tartarus
Tapi apa... hanya untuk melihatnya menggelinding kembali ke lerengnya?
Senja kali ini telah beranjak menjadi pagi
Dan pagipun kini telah bias dalam senja
Seolah kami saling sepakat dalam kekhawatiran
Sebuah jeda suram di tengah keduanya
Malam yang merambatkan sunyi dalam pekatnya

Ya Rabb...
Tadinya begitu ingin berteriak
Tapi pada akhirnya kami tertunduk

Bahwa mungkin dalam pandainya ejaan lisan
Kami lupa ketawadhuan
Bahwa mungkin dalam menguntai kisah menyejarah
Metafora teralpa dalam hiperbola
Bahwa mungkin dalam hamparan lahan
Kami angkuh dalam banyak barisan
Tapi kami lena memperjuangkan aliran kesejukan

Di sela tunduk kegundahan
Kami yakin bukan tentang kekhawatiran ataupun ketakutan yang sedang Kau ajarkan
Bahwa perjuangan sisypus pun bisa jadi tak seburuk yang kami kira
Barangkali di sela rehatnya dia melihat jutaan fajar
Mungkin pula berpetak-petak dandelion menyapa di sepanjang jejak langkahnya
Andai saja dalam gulingan batu pertama ia sudah menyerah
Maka bukankah takkan ada kisahnya yang melegenda?

Jika senista sisypus pun bahkan bisa bahagia dalam penjara hukuman
Lantas bagaimana dengan kami yang mengaku berikrar atas nama kebenaran
Ah, kami tersadar... bahwa di senja ini kami sedang Kau ingatkan
Bahwa di atas kemenangan kami tak boleh lalai dalam kemanisan
Bahwa di atas kekalahan kami tak boleh larut dalam keterpurukan

Pagi, dengan meraup segala hikmah kami siap menyambutmu...

Semarang, 11 Desember 2014

0 komentar:

Setoples Kisah, Jangan Jadi Remah :)

05.15 0 Comments

Barangkali kau sudah melupakannya, taburan cengkeh di pekarangan-pekarangan kampung yang bahkan kita rela mengayunkan langkah-langkah kecil menembus gelap dini hari. Lalu dengan gagah kita tenteng obor dan senter rakitan sederhana. Atau di bawah rintik hujan yang selalu menggoda kita berburu biji demi biji yang berjatuhan. Tak banyak memang. Tapi kantong demi kantong hasil lelah yang terkumpul dan kita tukar dengan beberapa lembar rupiah, kukira itulah yang disebut orang dewasa sebagai ‘bahagia’.

Barangkali kau tak menyadarinya, pertanyaan yang belum sempat terucap. Pertanyaan yang hanya ku radiasikan sebatas derai sunyi. Kenapa aku...kenapa hanya aku yang harus berseragam tiap pagi. Sedangkan kau asyik bertualang di ladang nan jauh sambil berlari-lari, bermain bersama sapi-sapi, serta berburu rumput hijau di sawah dan pinggiran kali. Kau egois. Apakah itu yang disebut orang dewasa sebagai emansipasi? Anak lelaki ‘bersenang-senang’, dan aku anak perempuan yang harus ‘berlelah-lelah’ bersama teman sebaya, mengulas yang orang dewasa sampaikan di dalam ruang berjejer, dan tentu saja aku harus duduk manis tiap hari. 

Barangkali kau menikmatinya, memulai jejak para orang dewasa. Tiap lebaran mereka ramai-ramai kembali dari rantau menenteng kardus-kardus yang mereka sebut sebagai ‘oleh-oleh’, lagi-lagi itu kata mereka -orang dewasa. Lembaran rupiah yang masih wangi, sekaleng biskuit renyah aneka rupa, permen-permen manis yang berkilau, hingga coklat yang membuat gigi belepotan selalu menjadi kutub magnet yang menarik kita ramai berkerumun bak serpih-serpih besi. Tapi lagi-lagi kau egois. Kau bilang hanya ingin jalan-jalan ke rantau bersama bapak. Tak  selang lama, aku kebingungan, yang ada hanya ia kembali seorang diri.

Barangkali kau tak ingin lagi menemuinya, air jernih yang mengalir di tepi jurang jelarang yang aku tak pernah hafal jalan untuk bertualang seorang diri. Mencari  orang aring di tepian hamparan padi. Berburu jangkrik di tepi kebun bambu. Menangkap belalang di ujung tegap ilalang. Juga mengepung ikan-ikan kecil di kali. Ah, rasanya akupun telah hilang selera melakukannya lagi. Kau jauh di sana bagaimana? Sepertinya kau temukan penggantinya, asyik bertualang di rantau sana.

Tahun terus berganti namun aku masih dengan hal yang sama, berseragam tiap pagi. Bak bunglon biru yang bermimikri menjadi abu-abu. Bahkan kini sudah tak ada lagi seragam, tapi masih saja berkutat dalam hal yang tak jauh berbeda. Aku iri dengan masa lalu. Dibela ketika di sekolah, kau tahu bukan betapa cengengnya aku. Ditemani pergi mencari tanah liat lalu diajari membuat pot dan boneka, dituntun membuat anyaman, dibuatkan ayunan di pohon belimbing belakang rumah, berlomba egrang dan terlalu banyak hal yang semakin kusebut semakin aku iri. 
***
Aku terbangun dari semua euforia itu. Aku tersadar bahwa aku bukanlah seorang pendefinisi ulung. Tentang yang mereka sebut bahagia, ternyata tak cukup dibayar dengan seberapa lembar uang dari cengkeh-cengkeh kering itu. Tapi seberapa kita mau bergegas melakukanya dengan senang hati, penuh kerelaan hati. Bukankah lucu jika demi uang yang tak seberapa, yang habis dalam hitungan hari, kita harus menembus gelap dan dingin dini hari. Berhamburan kesana kemari di bawah deras hujan. 
Tentang kata emansipasi, itu hanya letupan semuku yang tak mampu bijak mendefinisi. Kenapa tak kita berseragam bersama? Itu bukan keegoisan, tapi sebuah pengorbanan seorang anak laki-laki. Bersenang-senang atau berlelah-lelah? Bukankah itu definisi yang tertukar di antara kita. Lalu tentang keegoisanmu berikutnya. Rasanya terlalu sempit kudefinisikan berlalumu sekadar mencari sekardus oleh-oleh berisi biskuit, permen, coklat, atau bahkan lembaran uang yang masih wangi. Ku dengar hidup di rantau itu keras, apalagi kau harus bertahan seorang diri. Seperti yang kau bilang “Jikapun kita belum bisa membahagiakan, setidaknya jangan biarkan mereka bersedih.” Dan tiap orang punya cara sendiri untuk memenuhi keduanya. Kau dengan caramu dan aku dengan caraku. Ku yakin kau lebih paham dengan definisinya.
Dan tentang rasa iriku pada masa lalu, itulah bukti penemuan definisi “bahagia” yang telah salah kuterka. Aku jadi teringat tentang definisi yang pernah ku dengar, orang bilang ada dua macam kebahagiaan. Pertama, kebahagiaan yang kita rasa saat itu juga. Atau kedua, kebahagiaan yang baru kita rasa saat ia telah berlalu. Dan kadang kita terlalu serakah untuk menuntut memiliki keduanya.
Ini seperti hujan yang berhambur begitu saja dengan derasnya tiap waktu di bulan-bulan penghujan. Atau seperti embun yang turun tiap pagi tanpa kenal musim. Atau aku hanya salah menafsirkan dingin rintik salju. Ia benar ada jika musimnya telah tiba, tapi di belahan bumi sana sehingga aku hanya mampu menerka dan menduga. Meski rindu ini terlalu sempit jika kumaknakan dalam bingkai seperti ini, tapi aku yakin kini tak salah lagi mendefinisi. Inilah yang orang bilang ‘rindu’.

Ah, kupikir-pikir lagi penyebabnya. Apakah kau yang terlalu cepat menjadi dewasa? Atau aku mengidap keterbelakangan kedewasaan? Bahkan mungkin tulisanku ini adalah salah satu gejalanya yang telah mengendap sejak bertahun-tahun lalu. Dan sayangnya lagi, kini baru terdeteksi.

***
Teruntuk 22 Agustus, menyayangi dan merindumu karena Allah. Terima kasih untuk setoples kisah, yang tak mampu ku tulis satu persatu. Yang selalu ingin ku habiskan, isi lagi, habiskan lagi, dan terus mengulangnya. Tak ingin mereka menjadi remah yang entah tak jelas lagi rasanya. 
Berkah Allah semoga selalu menyertaimu....
Sugeng Ambal Warsa :) 


Tegal, 22 Agustus 2014

0 komentar:

Ramadhan... Seperti apa kau kini?

05.11 0 Comments

Apakah kau masih semerdu iringan kentongan bambu menjelang sahur? Bersuara sahut-menyahut memenuhi telinga. Yang dalam sekian detik kemudian memaksa mata tuk terbuka dan menggoda kami melongok jendela. Lalu kamipun terlelap kembali seiring semakin lirihnya lantunan kentongan itu. Padahal kami hafal, satu jam berlalu setelah itu tubuh kami pasti sudah digoyang-goyangkan ibu lalu dibawanya kami kami ke depan meja makan.

Apakah kau masih seriang letusan-letusan mercon yang memecah sunyi tiap pagi? Yang bahkan kami relakan setumpuk buku catatan disulap menjadi serpihan-serpihan berantakan di halaman atau bahkan di pinggir jalanan. Padahal kami tahu, tiap pagi suara itu memanggil omelan-omelan para orang dewasa yang membuat kami lari bersembunyi. Tapi tetap saja kami saling sepakat untuk datang lagi tiap pagi dengan benda dan suara yang sama

Apakah kau masih semanis semangkuk kolak buatan ibu? Yang membuat segerombol bocah berebut meja tiap azan maghrib tiba. Di sana.. selalu ada 6 mangkuk dengan porsi yang sama. Atau bahkan kau masih selucu es dan sederet jajanan yang kami tumpuk sedari siang hari. Lalu kami biarkan mereka bersembunyi di laci. Padahal tiap maghrib tiba, kami selalu dibuat bingung oleh perut kecil kami yang tak muat menampung semua harta persembunyian kami itu.

Apakah kau masih sesyahdu mushala kecil di samping rumah  kami? Yang membuat kami berebut microfon tiap malam untuk bertadarus, saling berlomba lembar siapa yang terjauh. Padahal kami tahu bacaan kami masih pas-pasan, bahkan membuat tertawa para orang dewasa dengan suara kami yang ngos-ngosan. Ditambah lagi sesekali bisikan kecil dan candaan yang tertangkap di pengeras suara.

Ah, mungkin sudah habis stok tumpukan buku catatan kami yang memuat kisah tentang kentongan, mercon, semangkuk kolak, ataupun setumpuk harta persembunyian kami. Atau mungkin semua telah disulap menjadi mercon yang telah diletuskan lalu berhamburan, hingga kini tak lagi kami dengar suaranya.

Tapi yang ku tahu, tiap waktu berlalu... kata ‘kami’ entah sukarela ataupun terpaksa harus berganti pemeran. Dan pada akhirnya, masing-masing ‘kami’ menjadi ‘aku’ yang harus mendiksikanmu dengan cara yang berbeda. Dan sepatutnya memaknaimu tanpa harus terikat semua metafora, ruang, suasana, atau apapun yang dapat berganti seiring berlalunya waktu.

Tentangmu Ramadhan... Seperti apa kau kini kumaknai?


Tegal, 27 Juni 2014

0 komentar:

Deretan yang (belum) Terdiksi

05.09 0 Comments

Gambar: http://1.bp.blogspot.com

Wahai kalian...
Sederet huruf yang belum mampu kudiksikan
Apakah kalian terlalu berkerumun menyambutku
hingga sulit tuk ku terka satu persatu?
Atau sekumpulan syaraf di ragaku terlalu payah
untuk sekadar memekakan inderanya?
Atau mungkin terlalu banyak spasi
hingga membatasiku merangkai kalian menjadi diksi?
Lalu, di satu titik letak yang menangkapku
Aku mulai mempertanyakan diriku
Siapa aku di sepanjang goresan ini
Aku.. yang masih menjelajah huruf-huruf sebelum koma atau bahkan titik menghampiri

Tanpa serangkai diksi takkan mampu aku membaca
Dan tanpa mampu membaca bagaimana aku mampu memakna
to be continued....


Semarang, 25 Mei 2014

0 komentar:

Merah di Tepi Pagi

05.08 0 Comments

Ku bertanya padamu langit pagi
Mengapa memerah di tepimu?
Ku menatapmu langit pagi


Lalu kau lantunkan jawab itu padaku:

Cahayaku terjatuh condong menembus langitmu wahai bumi
Belum tiba masaku merambat lurus tegak di tanahmu
Namun lintas lurusku masih terlalu panjang
Maka ku biarkan molekul molekul itu menebar cahaya
Lalu ketika hitam telah habis menghambur auranya
Ku gantikan biru kuning dan merah
Namun pada akhirnya merah itu yang berhasil mencapai matamu

Wahai langit
Aku masih sulit mencerna jawabmu itu
Yang ku tahu, merah-merah itu hangat menembus kabutku

Maka ku biarkan hangat itu mencairkan kebekuanku
Maka ku biarkan segera mengering basah-basah di rumputku



Semarang, 6 April 2014

0 komentar:

Menyiratkan Tanda Tanya Bersama Hujan yang Turun

05.06 0 Comments

Terlalu banyak orang yang memaklumi diri
Menjadikan kelalaian hal yang manusiawi
Dalam hidup ini memang tak sedikit keabsurdan yang menjelma
Seperti yang kau bilang
Bahwa “banyak hal di dunia ini tak berjalan sesuai apa yang seharusnya” bukan?

Tak mudah menjadi yang peduli
Tak mudah menjadi yang memekakan diri
Saat yang lain berpura menutup mata
Saat yang lain berpura menyumpal telinga
Tapi ku tahu kau berbeda

Dalam episode mata air kerinduan
Menuntun kita mengelola kemarahan menjadi keramahan
Keramahan dalam ketegasan
Ketegasan dalam kebenaran
Dalam kelembutan jiwa mari kita saling mengulurkan tangan
Tuk berteman dalam liku dan kesulitan
Tuk kembali menegaskan yang benar dan yang salah memang harus dipisahkan

Maaf...
Untuk aku yang mungkin terlalu larut dalam ketakberpihakan waktu
Terbawa arus lembut yang membuat ragu
Terkadang hanya sulit menentukan simpangan mana yang harus dilalui arusku
Karena tak bisa arus ini mengalir di dua tempat dalam satu waktu

Mungkin ku hanya mampu menduga tanpa sebenar-benar merasa
Bahkan selama ini kau berpura tak ada luka
Di jalan yang penuh peluh di sana
Merasa sepi tak ada yang membersamai
Kenapa tak saling tawarkan bahu?
Saat beban itu sudah terasa penuh bagimu
Jangan hanya menikmati detik-detik berbicara pada udara
Atau menyiratkan tanda tanya bersama hujan yang turun

“Tidak ada yang diberikan hadiah yang lebih baik dan lebih luas dari kesabaran” 



Semarang, 23 Maret 2014

0 komentar:

Teladan dalam Dakwah

05.04 0 Comments

Subhanallah, hari ini kehujanan hikmah dari seorang sesepuh desaku sekaligus guru ngaji semasa kecilku. Orang-orang memanggil beliau Embah Kaji atau Wa Kaji. Sosok Embah yang telah berusia 90-an tahun ini sangat sederhana. Yah, sangat sederhana. Kupikir semua orang di desakupun tahu, beliau bukan orang berkecukupan. Tapi dengan gigih, beliau yang kesehariannya hanya mengolah sawah ini mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk menyempurnakan rukun Islam yang kelima. Dengan usia beliau yang sudah sepuh, lagi dengan penghasilan beliau yang tak seberapa itu, dan lagi dengan merelakan lebih dari sebagian sawah dijual beliau untuk ongkos beliau ke baitullah, memenuhi panggilan-Nya, subhanallah.

Hari ini kami berbincang. Embah yang setia mengenakan peci menutupi rambut yang sudah seluruhnya berwarna putih ini banyak berbagi kisah tentang desaku. Dengan pembawaan yang tenang, beliau bercerita ketika berpuluh-puluh tahun yang lalu menjejakkan kaki di desaku. “Nok, sekarang sih sudah seperti ini Alhamdulillah, dulu jangankan kamu mau cari masjid atau langgar (red mushala), bahkan belum ada seorangpun di sini yang sembahyang (red. shalat). Saya dari desa sebelah, desa ini kebetulan selalu saya lewati untuk pulang-pergi ke pondok. Dulu tak seberapa yang mencari ilmu, betapa tidak, saya dan teman-teman berjalan berkilo-kilo untuk menuntut ilmu. Biasanya jika pagi berangkat maka sore hari baru sampai ke pondok.”

“Baru setelah menikah dengan almarhum istri saya, saya memutuskan untuk tinggal di sini. Mengajak masyarakat pada Islam bukan hal yang mudah, dulu di desa ini masih kental sekali dengan adatnya, percaya sesajen-sesajen, atau kesyirikan-kesyirikan lain. Lalu sedikit-sedikit saya mulai mengajar shalat dan ngaji, dan kebanyakan masyarakat usia 30-40an taun. Sekarang Alhamdulillah, senang melihat anak-anak kecil sudah bisa madrasah, TPQ, pergi ke guru-guru ngaji.” Tutur beliau sambil tersenyum.

“Tapi nok, sekarang langgar dan masjid sepi. Saya sudah tua, sudah tak sekuat dulu. Bahkan dengan penyakit tua ini, terkadang untuk berjalan ke langgarpun tak mampu. Rasanya berat bila tak bisa ke langgar. Teringat dulu sewaktu langgar tak sebagus sekarang, hanya bangunan kecil dari papan kayu dan bambu dengan remang ceplik (red. lampu minyak) sebagai penerangnya. Tapi anak-anak muda ramai berdatangan. Sekarang, ketika saya tak bisa ke langgar jamaah bingung, tak ada lagi anak muda yang ke langgar, mereka kan yang seharusnya bisa menggantikan saya.” Mata beliau yang penuh keriput di ujung-ujungnyapun mulai sayu.

Ah aku trenyuh mendengar penuturan langsung dari beliau. Teringat saat shalat berjamaah di langgar, semakin kesini beliau memang semakin sepuh, kadang shalatpun jadi ikut trenyuh saat beliau melafalkan surat dalam shalat, panjang sedikit serak, parau, bahkan kadang terbatuk.  Kini lebih banyak melafalkan surat yang ayatnya tak terlalu panjang. Beberapa kali pula beliau lupa rakaat shalat. Paling suka mendengar puji-pujian yang sering beliau lantunkan sehabis adzan shubuh, menjadikan dingin subuh semakin syahdu rasanya.

Ya allah gusti kula nyuwun, anak shaleh kang purun donga, manut syariat agama, tuntunane wali sanga
Ya allah gusti kula nyuwun, rezeki akur halal barakah, kangge jariyah shodaqoh, kangge ziarah Madinah Mekah
Ya allah gusti kula nyuwun, pinaringan ilmu manfaat, kangge ibadah lan taat
Ya allah gusti kula nyuwun, pinaringan panjang umur, dunia akhirat sageda makmur
Ya allah gusti kula nyuwun, saged kersa istiqomah,
Ya allah gusti kula nyuwun, benjang pejah khusnul khatimah
Kula iki bakal dadi raja, numpak mobil kang roda dawa, rodane sikil manungsa, temurune ngisor semboja....

“Kita hidup di dunia ga selamanya nok, tapi banyak yang sibuk dengan dunianya sehingga lupa sama sing gawe urip, lupa kehidupan setelah ini. Padahal Allah memberi banyak pahala bagi yang mau beramal, beribadah pada-Nya. Di duniapun banyak diberi, apalagi nanti di akherat.”

“Nok, jauh-jauh kau menuntut ilmu, yang sungguh-sungguh, yang rajin, banyak-banyak ngaji ilmu agama juga, nanti tularkan di sini sama yang lain. Sekarang orang pintar banyak, tapi nyari yang bisa memberi keteladanan itu susah. Pandai berkhutbah tapi lalai memuliakan Allah, dulunya nyantri tapi malas ngimami. Jangan lalai oleh dunia, oleh jabatan nanti kalau sudah jadi orang ya.”

Banyak hikmah yang bisa kupetik dari sosok sederhana ini setelah percakapan kami hari ini. Bahwa menyeru pada yang ma’ruf dan mencegah pada yang mungkar memang bukan hal yang ringan, bukan hal yang bisa dilakukan dengan instan. Dakwah bukan sulap yang bisa merubah dalam sekejap. Dakwah ini jalan panjang, makanya butuh keteguhan.  

Bahwa benarlah apa yang disabdakan oleh Rasulullah, “kalian (muslimin) akan diperebutkan oleh umat-umat lain seperti orang-orang siap memakan (hidangan) yang ada di hadapannya.” Para sahabatpun bertanya, “Apakah dikarenakan jumlah kita sedikit pada saat itu, wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, “Tidak, bahkan jumlah kalian banyak. Namun kalian seperti buih, sungguh Allah akan mencabut rasa takut dari hati musuh-musuhmu, dan sungguh Allah akan memasukkan penyakit wahn dalam hatimu.” Sahabat bertanya, “Apa penyakit wahn itu?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” Dan sekarang ini, umat Islam adalah mayoritas, tapi tak sedikit yang tak memahami Islam secara kaffah. Sekarang ini, banyak berlomba memperindah, mempermegah mushala, masjid, tapi jamaahnya? Silahkan dihitung.

Bahwa keteladanan itu bukan hal yang mudah. Dakwah ini adalah memberi. Lalu bagaimana kita bisa memberi jika kita tidak memiliki, bukan begitu? Maka tak ada artinya dakwah seorang lalai yang menyeru manusia agar senantiasa taat. Tak  ada gunanya dakwah seorang penggemar foya-foya yang menyeru manusia agar hidup sederhana. Dan tidak akan ada bekasnya dakwah orang yang gemar melakukan penyimpangan ketika dia menyeru manusia kepada istiqomah.

Dan bahwa “Seberapa kau dipercayai, adalah seberapa kau mengabdi.”

Tegal, 10 Februari 2014

0 komentar:

Ini (bukan) Penghujung Kita part 2

03.39 0 Comments

Momen itu akhirnya kita lalui juga... tepat seminggu yang lalu. Seminggu ini entah rasanya bingung mau menuliskan apa untuk melanjutkan tulisan ini. Bahkan aku masih belum bisa menentukan ending babak kita di “panggung” ini.

Malam ini... masih di bawah langit sekaran yang kebetulan lagi mendung-mendung sendu ditambah gerimis-gerimis romantis. Ingin mengungkapkan satu hal  “berhusnuzonlah... bahwa terkadang suatu pilihan, suatu keputusan, entah itu harus terungkapkan atau tidak, berfikirlah ada alasan kebaikan di sana yang mungkin belum kita sadari.”
Berat... memang. Bukankah hampir semuapun tau, bahwa amanah adalah hal yang paling berat. Bahkan langit, gunung-gunungpun tak menyanggupi tuk memikulnya. Lalu seberapa kuat pundak kita? Kenapa Allah melimpahkan pada kita? Maka yang bisa kita lakukan tak lain meminta-Nya untuk menguatkan pundak kita, melapangkan dada kita, bukan meringankan amanah itu.

Dan kini, menyadari amanah itu telah tertunaikan sudah... diiringi suka duka, tangis tawa, pahit manis, kadang sangat menikmati, kadangpun ingin lari. Kita belajar bahwa setiap kesenangan dan kesemangatan ada momen jenuhnya, tapi kita juga belajar bahwa setiap badaipun ada redanya bukan? Dengan segala warna-warni ukhuwah menyelimutinya, perjalanan kita telah tertulis indah, hingga aku tak dapat lagi menulisnya saudara-saudariku....

Terima kasih awan...kau tetap menaungi. Tak usah kau risaukan jika mereka mengeluhkan mendungmu. Jika memang menghendaki hujan tuk turun, maka biarlah rintik rintik itu jatuh, lalu biarkan angin membawa pergi gelap..lalu kembalilah menjadi awan putih yang meneduhkan dan menaungi sekelilingmu....

Terima kasih matahari...kau tetap bersinar. Apapun terjadi, dengan segala keberjarakan matahari dengan bumi, bukankah cinta matahari pada bumi tetap abadi. Embun, ilalang, para dandelion, dan penghuni bumi lain akan tetap merasakan radiasi sinarmu kan? Tapi ingat juga, bahwa matahari tak hanya menyinari bumi...tapi amanahnya juga menyinari planet-planet lain bukan? Meski kau belum tau atau bahkan asing dengan penghuninya...kau bilang matahari tak redup sejak ia diciptakan,  maka tetaplah seperti itu, jangan redup, tetaplah bersinar, menebar peluh peluh kesemangatan...

Terima kasih ilalang...kau tetap kuat. Ku tau kau semakin kuat, meski terinjak atau bahkan tertiup angin. Tetap dan terus tumbuh hebat, terik maupun hujan, di tempat subur maupun gersang. Jangan pernah takut, jangan pernah ragu pada dirimu sendiri. Tak perlu iri pada tanaman lain yang terlihat lebih darimu, karena sesungguhnya kau teramat istimewa, jangan melihat diri sebagai tanaman yang kecil. Tapi lihatlah kau ilalang, tak tumbang, meski angin menggoyahkan...

Terima kasih langit biru....kau tetap menenangkan. Suasana mendung-mendung sendu membuat hadirmu semakin dirindu. Dengan segala kelapanganmu, ketenanganmu...tetaplah menjadi penentram bagi perindu ketenangan. Menjadi pengingat betapa luas kasih sayang-Nya. Dimanapun berada, langit... tetaplah membiru dan menenangkan....

Terimakasih sayap-sayap langit dan semua punggawa langit....

Semoga amanah yang telah kita tunaikan akan mendekatkan kita dengan cinta-Nya dan menjauhkan kita dari murka-Nya.

Selamat menunaikan amanah di panggung selanjutnya... satu panggung ataupun tidak, kita masih satu manajemen ko, manajemen langit... eh bukan, tapi dakwah lillah....hehehe

Ku akhiri dengan sebuah lagu:

Hari ini adalah lembaran baru bagiku
ku di sini karena Kau yang memilihku
tak pernah ku ragu akan cinta-Mu
inilah diriku dengan melodi untuk-Mu

dan bila aku berdiri tegar sampai hari ini
bukan karena kuat dan hebatku
semua karena cinta
semua karena cinta
tak mampu diriku berdiri tegak
terima kasih cinta

tak pernah ku ragu akan cinta-Mu
inilah diriku dengan melodi untuk-Mu

Jika dakwah adalah sebuah melodi
mungkin ialah melodi yang membuat hatimu merintih
mungkin ialah melodi yang membuat tubuhmu ringkih
mungkin ialah melodi yang membuat darahmu mendidih
mungkin ialah melodi yang membuat matamu menangis merana
tapi yakinlah ialah melodi yang membuat bibir tersenyum bahagia
....
THE END

Semarang, 25 Januari 2014

0 komentar: