Kita Hanya
Apa kabar?
Seorang pernah berkata, perjuangan
itu seperti nasi. Tanpa rasa sekalipun, tanpa warna sekalipun, ia telah ditakdirkan
sebagai “jodoh” bagi perut-perut orang Jawa. Selalu dirindu. Mereka biasa
mengenal kata lapar sebagai definisi rindu. Bahkan mereka berhiperbola bahwa betapa
tak bisa berjalan di muka bumi ini dengan perut-perut “kosong”. Begitu kiranya
hidup tanpa perjuangan.
Tanpa kita abaikan faktor
seberapa lapar masing-masing perut, sementara mari bayangkan bahwa tiap hari perut-perut
hanya akan bersua dengan nasi, nasi, dan nasi. Kebanyakan kita tentu sepakat
bahwa manusia tak lain makhluk yang paling banyak maunya. Maka barangkali
itulah sebabnya sayur, soto, penyet, gongso dan kawan-kawannya hadir ke bumi mendampingi
piring-piring nasi.
Anggaplah kita adalah jejeran
pelengkap nasi yang pernah dipertemukan dalam satu lingkar meja makan. Barangkali
aku hanya layaknya cah kangkung yang kandungan zat sedativnya membuat mata mentiung. Atau bahkan mungkin mie instan
yang dicap tidak baik untuk kesehatan. Sedangkan kamu barangkali layaknya gongso
super pedas yang membuat air mata dan keringat bercucur deras tapi bikin
ketagihan sekaligus penghilang was-was. Atau barangkali kamu penyet yang rela
gosong tersentuh bara api tapi gurih lengkap dengan lalapan daun kemangi yang
sengar tapi wangi. Atau barangkali kamu daging steak mewah berselempang
mayonaise yang wah dengan taburan blackpapper yang membuat orang ngiler. Atau barangkali
kamu buah segar dan legi yang dijejer bersama hidangan inti. Atau tak lain kamu
adalah pengisi gelas-gelas licin yang basah berembun menahan dingin.
Tapi tiap perut punya porsi dan
selera masing-masing bukan?
(Duh, mau baper kok jadinya
laper… *skip)
Kita, pelengkap nasi yang pernah
dipertemukan dalam satu lingkar meja makan…
Kita hanya orang-orang beda rasa,
karsa dan rupa yang sedang belajar menjadi sosok dewasa. Bahwa bukan tentang
siapa aku siapa kamu siapa dia siapa mereka. Karena justru itu menunjukkan betapa
bukan siapa-siapa kita.
Kita hanya orang-orang egois yang
sedang belajar itsar dan mengalahkan
diri. Bahwa hidup bukan untuk diri sendiri melainkan untuk saling menggenapi
dan berlomba memberi arti.
Kita hanya orang-orang buta yang seringkali
berlagak melihat segala. Kita hanya orang-orang tuli yang seringkali berlagak
mendengar segala. Bahwa kita hanya sedang belajar menyiapkan sepeka-peka indera
dan meraup sebanyak-banyak hikmah yang tercecer atas hingar bingar, bising dan
puing-puing.
Kita, yang dipersaudarakan,
dipertemukan, maupun dihadap-hadapkan, mulanya hanya orang-orang asing. Maka
bisa jadi sewaktu-waktupun kita akan kembali asing. Bahwa kita yang bahkan
belum tahu kapan menjadi gambar yang sempurna, dengan segala yang telah terlewati
mungkin hanya menjadi sekelumit kisah untuk melengkapi puzzle masing-masing.
Jika perjuangan ibarat nasi. Terima
kasih, yang telah bersama tersaji.
(Semarang, 1 Januari 2016)
Teruntuk rekan seperjuangan: Elang
biru, Garuda Biru, Samudera Biru, Perisai Biru, Ukhoya, Legislator Akademisi, Kabinet
Muda, Sayap Sayap Langit, Punggawa on Time, Esya Fighter, BC Team, Aplikasi, seluruh
ikhwah Unnes, dan Teman Bermain di bawah atap sana. Anggaplah ini pengganti
belum tergenapi janji menuliskan kalian di “lembar persembahan” awal tahun ini.
Gambar: Dalam Dekapan Ukhuwah
Gambar: Dalam Dekapan Ukhuwah
0 komentar: