Seorang Kakak Lelaki

04.16 0 Comments

Kamu tahu bagaimana menjadi anak lelaki selepas ibunya melahirkan putri sepertimu? Tangis kecilmu layaknya penyampai amanah Tuhan bahwa aku saat itu juga menjadi seorang bapak kedua untukmu. Bahkan bagi seorang yang masih belasan tahun, atau seorang yang masih dua tahun sepertiku dulu, sama sekali kebeliaan tak bisa menjadi alibi keberatanku pada amanah Tuhan itu. Selamat datang tuan putri, terima kasih atas kehadiranmu yang menyemaikan senyum bapak dan ibu. Kamu yang masih begitu mungil sangat manis dan lucu saat itu. 

Dulu aku belum paham bagaimana menjadi seorang kakak lelaki. Ibu akan marah jika aku mengajakmu hujan-hujanan berperahu jerami di sungai. Lelaki kecil sepertiku dulu hanya tahu bahwa ketika kamu terlihat begitu bahagia melakukannya maka aku akan mewujudkannya. Ternyata tidak mudah menjadi seorang kakak lelaki untuk adik perempuannya. Kata ibu, aku harus bijaksana, harus kuat, dan harus bisa melindungimu. 

Maka aku yang bertanggung jawab atas pelajaran- pelajaran yang kamu tidak paham di sekolah, mengajari tugas membuat kerajinan, membuatkan mainan, menjawab penasaran-penasaranmu tentang banyak hal di dunia. Barangkali begitulah cara Tuhan mengajariku bahwa aku harus menjadi orang yang tanggap dan serba bisa. 

Maka aku harus memastikan alasan kamu menangis di sekolah, menemui kakak kelas yang menakalimu. Aku harus memberikan pertolongan pertama saat kamu jatuh dari belajar sepeda, bermain egrang, atau sekadar tersandung ketika berlari. Barangkali begitulah cara Tuhan mengajariku bahwa aku harus menjadi orang yang peka dengan luka orang lain, bagaimana merawat luka, dan bagaimana menjadi seorang yang tak melukai orang lain. 

Maka sejak aku menjadi kakak lelaki untuk seorang adik perempuan, aku berjanji pada diriku sendiri. Bahwa aku sebisa mungkin tak akan melukai apalagi mempermainkan seorang perempuan. Aku tak ingin merepotkan kakak lelaki lain yang juga sedang melindungi adik perempuannya.

0 komentar:

Kelak

00.55 0 Comments

"Kak, sudah menemukan?" Tanya seorang adik perempuan.
"Menemukan?" Kakak lelaki balik bertanya.
 Adik perempuan hanya tersenyum.
Kakak lelaki mulai mengerti arah pertanyaan adiknya.

 "Kak, kakak akan memilih yang mana? Aku yang lebih dulu ditemukan atau kakak yang lebih dulu menemukan?" Adik perempuan bertanya lagi.
 "Menurutmu mana yang akan lebih sulit, meninggalkan atau ditinggalkan?" "Sama-sama tidak mudah." Jawab adik perempuan.
"Tak usah risau, tak perlu khawatir kamu ditinggalkan ketika aku telah menemukan nanti, justeru aku membawakan teman perempuan untukmu juga." Jawab kakak lelaki.
Adik perempuan hanya terdiam.
"Atau sudah ada seorang yang menemukanmu? Aku akan dengan senang hati menyambutnya. Aku akan sangat lega ada seorang yang akan menjagamu. Dia haruslah lelaki yang mampu menuntunmu dalam kebaikan, membuatmu ikhlas menjadikannya sebagai muara ketaatan, menerima kamu sebagai dirimu sendiri, dan tentu saja seorang yang cukup 'sabar dan peka' membersamai perempuan sepertimu." Jawab kakak lelaki sambil tersenyum menyindir.
Adik perempuan hanya tersenyum getir.
Kakak lelaki kembali tidak mengerti arah pertanyaan adiknya.

0 komentar:

Merapikan

01.02 0 Comments


Pernahkah sesekali membunuh segala kebosanan dengan memutuskan membaca ulang isi ponsel? Merapikan pesan-pesan yang masuk. Lantas menemukan sederet pesan singkat yang tak sempat kita balas. Entah dengan sederet alibi yang kita buat. Terlalu sibuk, riweh, limit pulsa, sedang susah jaringan, tak penting, atau sekadar menyengaja tak membalas. Tapi di lain waktu kita tersadar begitu banyak yang telah kita abaikan. Kita seringkali lupa betapa menyebalkannya ketika kita mengirim pesan tanpa ada balasan dari yang kita tuju bukan? Ternyata kadang kita juga lebih menyebalkan dari itu. 

Kita barangkali pernah jenuh di sela rutinitas. Semakin jenuh melihat berkas-berkas berantakan memenuhi memori gadget kita. Pernahkah sesekali memutuskan memberi jeda atas sederet deadline? Menata ulang folder-folder yang bertebaran. Menemukan folder album sederet gambar yang pernah kita abadikan. Membuka gambar-gambar usang tak ubahnya menaiki gerbong kereta waktu yang mengantarkan kita menuju ingatan yang tertidur pulas di amygdala otak kita. Tentang cinta, benci, bahagia, sedih, takut, khawatir, marah, kecewa, dan segala ingatan-ingatan emosional yang telah kita domisilikan di sana. Lantas tersenyum menyadari keluguan di masa lalu, menggenapi rindu lewat gambar sahabat, keluarga, atau siapapun yang mungkin lama tak kita jumpa, mereka ulang hal-hal yang pernah kita lakukan, momen-momen yang pernah kita lalui, tempat-tempat yang pernah kita jelajahi, atau sekadar merenungi betapa hal-hal di sekeliling kita terus berubah begitu cepat layaknya roda kereta yang cekatan menggesek relnya. 

Bagi sebagian kita, terkadang merapikan itu merepotkan. Banyak hal terserak tanpa kita sadar, merapikan tak lain menginsyafi, menggugah keinsyafan. Banyak hal terlalui tanpa kita sadar, merapikan tak lain mengenangi, menguak kenangan.

Selamat merapikan, apapun.

0 komentar:

Mereka yang Dihadirkan

19.13 0 Comments

Adalah mereka, orang-orang yang tetap saja tertawa atas segala candaan kita yang kadang sama sekali tak lucu, tetap memasang telinga atas keluh-keluh sepele kita yang terus mengalir menggerutu. Mereka mungkin lebih butuh didengarkan tapi tetap saja belajar tuk jadi pendengar yang baik. 

Adalah mereka, orang-orang yang tak pernah kehabisan persediaan kesabarannya, menerima dengan lapang segala tabiat dan laku-laku menyebalkan yang kita punya. Mereka mungkin tak memiliki dada yang cukup lapang tapi selalu mencoba bertahan tuk jadi seorang penyabar. 

Adalah mereka, orang-orang yang lebih memilih mengirimkan kado-kado pahit bernama nasihat dibanding sepaket pujian berbungkus kepura-puraan. Mereka bukan berlagak paham segala, melainkan mencoba peduli bahwa sebungkus manis justru mungkin akan melubangi sedangkan sebutir pahit akan mengobati. 

Adalah mereka, orang-orang yang berpura biasa-biasa saja menanggapi segala tingkah aneh kita, padahal peduli, lantas diam-diam mengetuk-ngetuk kegelisahan yang kita coba tutupi rapat-rapat. Mereka mungkin bukan orang yang peka, tapi tak menyerah belajar memahami. 

Adalah mereka, orang-orang yang terkadang berpura tidak khawatir, mencandai seraya menyikut bahu, hanya untuk meredamkan segala kecemasan yang kita punya, lalu berdecak “Hei, semua akan baik-baik saja!” Mereka mungkin bahkan sedang butuh disemangati tapi selalu berlagak menyemangati. 

Adalah mereka, orang-orang yang barangkali tanpa kita duga menjadi sebab kemudahan-kemudahan serta keberhasilan-keberhasilan dalam hidup kita lewat doa-doa yang mereka panjatkan diam-diam. Mereka bukannya miskin keinginan, melainkan menjadikan kebaikan kita sebagai bagian dari betapa kaya pengharapan yang mereka miliki. 

Mereka bukanlah fans, psikolog, konsultan, dai, detektif, supporter, apalagi malaikat. Mereka barangkali bukan orang-orang yang sengaja kita pilih, ataupun juga sebaliknya bukan kita yang menyengaja untuk mereka pilih. Melainkan merekalah orang-orang yang entah bagaimana ‘disengajakan’ hadir di sekeliling kita bahkan mungkin tanpa kita minta. 

Mereka, entah siapapun di setiap fase hidup kita, orang tua, saudara, sahabat, teman seperjuangan, atau bahkan mungkin teman hidup kita. Pada akhirnya lewat merekalah kita diajarkan bahwa Allah mencipta lalu mempertemukan tak pernah tanpa alasan. Agar kita senantiasa merayakan kesyukuran sebanyak-banyaknya, barangkali salah satunya.

0 komentar:

Tertangkap Basah

23.40 0 Comments


Tak perlulah kita merengek layaknya seorang yang putus harapan atas sesuatu yang bahkan belum kita kejar layaknya seorang yang telah mati-matian memperjuangkan. Kita hanya perlu melakukannya lebih.

Kita barangkali pernah terlampau bersenang-senang, melupakan segala kepayahan yang seharusnya kita perjuangkan. Kita barangkali pernah tertawa terbahak, tanpa menjadi peka di tanah yang kita  pijak. Kita barangkali pernah merasa tahu segala, padahal tak banyak yang kita punya dibalik tempurung kepala. Kita barangkali pernah membiarkan diri, terus tenggelam dalam kesalahan yang sejatinya kita sadari. 

Atas segala bentuk kelalaian, ketidakpekaan, kepongahan, dan kealpaan, terkadang layaknya kita terlanjur tenggelam, suka atau tidak suka, harus rela untuk menjadi basah bukan? Karena bagaimanapun sejatinya basah adalah konklusi yang telah disepakati atas premis-premis ketenggelaman dalam hidup. Maka saat kita harus tertangkap basah, bukankah lebih indah menyengaja diri dibanding didapati tanpa kita duga dan kehendaki? Sama-sama basah, tapi setidaknya dengan menyengaja kita masih punya jeda untuk memupuk kelapangan hati. Sewaktu-waktu kita memang butuh tertangkap basah. Membiarkan rasa malu menjadi memori yang akan kita kenang di masa depan. Membiarkan rasa sesal kita kunyah untuk menemani perjalanan berikutnya. 

Barangkali seperti itulah Tuhan menciptakan sepasang makhluk bernama masa lalu dan masa depan. Agar mereka, sadar atau tidak sadar, sewaktu-waktu akan saling mengingat. Seperti sekeranjang pertanyaan yang kadang tak selalu dijual dengan bonus sepaket jawabannya sekaligus. Karena ada kalanya sebuah jawaban barangkali tiba-tiba justru hadir di hadapan kita di masa depan, saat kita bahkan telah lupa apa yang pernah kita pertanyakan di masa lalu. 

Hidup ini tentu saja sudah ada takarannya masing-masing. Tidak lebih tidak kurang. Pun tiada bejana yang akan tertukar isinya. Tinggi rendah, banyak sedikit, cepat lambat, baik buruk, bukankah tugas kita berupaya meraih sebaik-baik takaran yang sudah disiapkan? Agar tiada mubazir atas takaran yang sudah dijatahkan tapi dengan ceroboh kita abaikan. Juga tak lupa bercukup-cukup membentengi diri dari keserakahan, agar tiada takaran yang sejatinya tak muat tapi dengan tamak terus kita paksa mengisi bejana yang kita punya. Lalu pada akhirnya kering ataupun tumpah yang didapat hanya menyisakan lelah. 

Atas tulisan yang salah kita eja. Atas langkah yang salah kita tapak. Maafkanlah, tapi jangan beri pemakluman. Maka memaafkan adalah menjadi sadar atas segala arus yang terlanjur keliru kita selami. Sedangkan pemakluman hanya akan menjadikan kita merasa nyaman dan terbiasa tanpa sadar bahwa diri telah basah. Bukankah tenggelam sejatinya bahkan telah mengajari kita betapa sesaknya berlatih menahan nafas pada detik-detik permulaannya?


Semarang, 13 Maret 2016

0 komentar:

Bayang

03.21 0 Comments

Perlawanan yang paling sulit adalah melawan diri sendiri
Tidak bisakah seperti hujan?
Jatuh tinggal jatuh
Basah tinggal basah

Seperti terlalu rumit untuk mengukur bayangmu sendiri
Panjang pendek selalu tak pasti
Kau membungkuk, dia turut
Kau berdiri, dia tak bisa kau terka

bayang
selalu mengikuti kemanapun kamu coba lari

Semarang, 4 Maret 2016

0 komentar:

Hujan dan Keterjebakan

00.52 0 Comments


[]... Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).[1]

Hujan, barangkali hidung mampu mencium aroma petrichor menghambur bersama debu yang membasah pada jatuh pertamanya. Salju, barangkali kulit mampu menafsirkannya dengan kata dingin lalu menyalurkan dalam gigilnya. Angin, barangkali telinga bisa saja termanjakan dengan alunan ketenangan lewat sepoi yang menggesekkan dedaunan atau justru terusik dengan gemuruhnya. Awan, barangkali dua bola mata tak sengaja menangkap arak-arakan putih yang menggantung itu lalu membiarkan benak menebak-nebak sketsa yang dibentuknya. Dalam banyak hal, kita barangkali terlalu sering hanya mengandalkan pancaindera menjadi jaring penangkapnya. Lalu berlalu begitu saja. 

Pernahkah kita berhenti sejenak, lalu merenungi tiap detil kecil di dunia yang kita pijak barang sebentar ini? Hujan misalnya. Di tiap-tiap rintik yang turun, sebagian manusia sibuk mengutuki, sebagian lagi tak peduli, namun ada pula sebagian yang khusyuk menginsyafi. Entah bagaimana hujan seringkali dijadikan tersangka atas keterjebakan-keterjebakan manusia. Mulai dari terjebak pulang pergi kerja atau sekolah, terjebak di rumah, terjebak di emperan toko, terjebak kehabisan pakaian yang tak kunjung kering, terjebak dalam hangat selimut, terjebak dalam khayalan bak kejatuhan dongeng-dongeng dari langit,  hingga terjebak dihujani kenangan masa lalu. Terjebak, terlebih tak bisa beranjak kata mereka. 
Mari berhenti dari keterjebakan-keterjebakan yang terlalu biasa. Padahal tiap satu rintik yang turun dibersamai satu makhluk. Maka dijadikan tetumbuhan di sekeliling jatuhnya menjadi hidup. Lalu tiap sehelai daun yang tumbuh darinya bahkan dibersamai lagi tujuh makhluk. Adalah makhluk yang tercipta dari cahaya yang selalu setia pada titah Tuhannya. Malaikat namanya. Tuhan menjatuhkan tiap rintik lengkap bersama keberkahan yang turut serta. Pernahkah kita mampu menghitung seberapa banyak rintik air yang jatuh? Sebanyak itu pula Tuhan memberi kartu emas atas doa-doa yang kita pinta. Maka ketika pun kita harus terjebak ketika hujan turun, tidak ada yang lebih indah daripada terjebak di dalam doa-doa. Sebasah-basahnya. Sebanyak-banyaknya. Seraya terus mengingat dan memuji-Nya. Lalu diam-diam Tuhan akan memilihkan yang terbaik dari sederet yang kita pinta untuk tersemogakan. Allahumma shayyiban nafi’an...[2]



[1] Al-An’am (6): 59 
[2] Ya Allah, jadikanlah hujan ini bermanfaat. HR. Bukhari no. 1032, Ahmad no. 24190, dan An Nasai no. 1523.

0 komentar:

Mengunyah Buku “Lautan Langit”

05.37 0 Comments


Esok, apa yang terjadi dalam hidup kita hari ini akan kita pahami esok hari. Terus melangkah, meski melelahkan, meski menyita perasaan. Tujuan itu tidak akan kemana-mana. Jangan berhenti, nanti tidak sampai.

Esok kita akan dijatuhkan dan ditinggikan. Hari ini kita sedang menjalani sebuah proses jatuh yang dalam banyak hal di hidup kita adalah hal yang paling berat untuk kita rasakan. Jatuh dari harapan, jatuh dari impian, termasuk jatuh cinta. 

Beberapa hari ini ditemani sehampar tulisan apik bertajuk “Lautan Langit” yang ditulis seorang pemetafora kehidupan bernama Kurniawan Gunadi. Renyah rasanya mengunyah lembar demi lembar  buku bersampul dominasi  biru tenang yang terkontras putih dan jingga ini. Seperti diam tapi meletup teriak. Seperti berisik tapi tak memekakan telinga. Dua hal yang sama-sama tak bisa dipilih ataupun ditinggalkan. Nice.

Mengurai pagi. Tentang segala resah, khawatir, dan takut. Tentang bersiap. Tentang mengawali. Tentang nasihat. Juga tentang sedih dan bahagia. 
Mengurai siang. Tentang cara mengekspresikan anugerah bernama cinta tanpa menodai keanugerahannya. Tentang ketidakpekaan waktu. Tentang kesempatan. Tentang impian. Juga tentang kesalahan dan kepergian.
Mengurai sore. Tentang pelajaran sepanjang perjalanan. Tentang sebuah kesimpulan. Dan pada akhirnya tentang sebuah keputusan.

Tiap alir air akan menemukan muaranya, begitupula tiap goresan pena akan menemukan penikmatnya. Bagi para penikmat desir kata penuh romantisme. Bagi para pencari inspirasi sarat makna dibalik frasa yang mengalir bergemericik. Bagi yang mengakui keyakinan, perasaan, nalar, dan logika adalah bagian tak terpisahkan atas proses memutuskan. Bagi pencari makna hidup. Jika itu kamu, coba bukalah! Selembar saja. Acak. Lalu akan ada rasa lapar yang membuatmu ingin terus mengunyahnya potong demi potong. Selamat menikmati sampai habis...
 
Judul Buku            :  Lautan Langit
Penulis                     :  Kurniawan Gunadi
Penerbit                  :  CV IDS
Tebal buku              : 203 halaman
Tanggal terbit       :  September 2015

0 komentar:

Tentang Mencari

04.48 0 Comments


Kata bapak, mencari adalah memperjuangkan.
Memastikan seorang wanita yang telah dia curi baik- baik dari seorang bapak bersedia tetap menjadi sandera sukarelanya tanpa menghawatirkan apa-apa di esok hari.

Kata bapak, mencari adalah menghidupi.
Meninabobokan para mata kecil dengan perut terisi. Mengukirkan senyum para bibir kecil dengan dibungkus baju-baju cantik. Meneduhkan para tubuh kecil dengan atap, tiang dan dinding.

Kata bapak, mencari adalah membesarkan.
Memastikan tumbuhnya para bayi mungil. Memasangkan kaca mata kearifan untuk mengajarkan keluasan hati dan kataatan pada ilahi. Mengantarkan pikiran-pikiran kecil yang kosong agar terisi keluasan makna dunia yang tak bertepi.

Kata bapak, mencari adalah melawan.
Melawan panas terik yang menyengati ataupun hujan yang membasahi. Melawan bosan dari setupuk deadline yang menemani. Melawan lelah, peluh, dan keluh. Melawan ingin yang hanya untuk diri sendiri.

Kata bapak, mencari adalah alasan.
Alasan dia diciptakan, dikirim ke dunia. Alasan Tuhan menciptakan bahu itu lebih kuat, kaki itu lebih tangguh, lengan itu lebih perkasa, dan kulit itu lebih tahan terik hujan.

Bapak, tak hentinya mencari. Bahkan beribu-ribu terima kasih, berpaket-paket bingkisan lebaran, atau berdigit-digit nominal rupiah takkan bernilai untuk membeli secuilpun keteguhannya mencari.

Kata bapak, kelak ketika gadis kecilnya menemukan seorang yang juga bersedia menghabiskan hidupnya untuk bersungguh-sungguh mencari. Itu cukup.

Kata bapak, kelak ketika lelaki kecilnya menjadi seorang yang juga bersedia menghabiskan hidupnya untuk bersungguh-sungguh mencari. Itu cukup.

Semarang, 19 Februari 2016

0 komentar:

Lentera

04.17 0 Comments


Seperti lentera...
yang tak padam dalam remang redup kehidupan
secukup sinarnya
yang tak ragu, seberapapun pancarannya
karena redupnya simbol ketawadhu’an
karena redupnya halus menembus sudut gulita

Kitakah mereka?
Yang selalu menyematkan tujuan mulia di dada
Tentang tegaknya risalah-Nya
Tentang kejayaan umat-Nya

Sudahkah kita malu... bertekuk lutut pada keputus asaan?
Sudahkah pantang surut... walau badai apapun yang menghadang?
Ataukah  kita masih sibuk mencari alasan demi sebuah pemakluman?
Seperti lentera tanpa minyak, kosong, ada tapi tiada


Mengenang something bertajuk "lentera"
Semarang. penghujung 2013
<![endif]-->

0 komentar:

Secangkir Teh Hangat Tanpa Hujan di Balik Jendela

22.50 2 Comments


Sebuah pembicaraan. Tentang berkisah dan mendengarkan. Tentang berbagi dan terbagikan. Tentang seberkas  kebahagiaan yang terjamakkan. Tentang sebongkah kegundahan yang tererosikan. Tidak ada yang lebih menenangkan dari dua tiga cangkir teh hangat yang membuat kita duduk saling bertemu. Dan bersamaan di balik jendela sana, hujan turun kian menderu.

Tapi musim selalu berganti. Kini hanya kami berdua saling membisu. Aku dan secangkir teh hangat di hadapanku. Dan hujan di balik jendela tak kunjung turun. Sesiapa yang berkisah dan sesiapa yang mendengarkan? Sekejap kemudian kami tersenyum. Ku biarkan tangan ini mendengarkan ia berkisah lewat hangat yang menembus dinding permukaannya. Ku biarkan wangi menguap lalu mengumpul selaksa awan memenuhi langit rongga dada. Lalu dengan sendirinya bongkah gundah di dasarnya akan tererosi dihujani bahagia. 

Begitulah kami saling berkisah, berbagi bahagia dan gundah. Tanpa sepatahpun kata. Tanpa hujan di balik jendela. Tiap teguk menggenanglah satu unit kebahagiaan. Tegukan berikutnya, terkikislah satu unit kegundahan. Begitu seterunya mencipta siklus tiap satu unit masa. 

Tapi pada akhirnya, tak lain aku hanya layaknya sedang mencuri ketenangan dari secangkir teh hangat. Maka saat teguk terakhir sudah tak lagi bersisa, selalu ada reda atas hujan bahagia dan selalu ada sisa bongkah gundah yang masih melekat. 

Tinggalkanlah kesemuan itu, tidurlah! Lalu biarkan dingin lekas-lekas membangunkanmu kembali. Berkisahlah sepuasnya! Sebab Dia Mendengar lebih. Berkisahlah! Dengan ke-Maha-an Nya, bongkah gundah tak lagi tersisa sebab dihujani bahagia yang tak kenal reda sekencang apapun angin bertiup mencoba meniadakannya.

2 komentar:

Februari dan Sepotong Brownies

05.16 0 Comments

Kuucapkan selamat untuk mejadi yang istimewa. Menjadi dua angka yang berjejer di dalam sana. Adalah angka empat dan angka lima. Kita yakin tidak ada kebetulan yang tak disengaja, mungkin itu pula kenapa kalian berjejer dan saling beruntun di sana. Di dalam tempat yang istimewa bernama Februari. 

Tunggu, istimewa itu bukan karena hegemoni kasih sayang yang dispesialkan. Bisa dibilang dia bulan paling tidak konsisten diantara sebelas bulan lainnya. Dia berbeda dari yang lain. Dari sudut lain berarti keistimewaan bukan?

Februari. Konon, awalnya bangsa Romawi menjadikannya bulan penghabisan, bulan penghujung, atau bulan penutup ketika Maret sempat pernah menjadi permulaan tahun. Lantas semua berubah tatkala Januari akhirnya bertengger di depannya. 

Ini bukan tentang sejarah Februari atau seberapa istimewa Februari. Barangkali hanya efek suara hujan yang tetap berisik walau ku tutup pintu dan jendela rapat-rapat. Apa hubungannya? Entahlah, tetiba jemari ingin menuliskan dua tiga patah kata tentangnya. Lalu ia mengalir begitu saja.

Hai kalian, di sudut manapun berada. Aku teringat sebuah palung tulisan yang hingga kini masih kutunggu permukaannya. Di sana tertulis kalimat "sepotong brownies". Lagi-lagi hujan membuatku bermetafora...

Sepandai-pandai tupai melompat ia jatuh juga. Seorang koki keheranan kue coklat buatannya tak seperti seharusnya. Lembut, empuk, tebal, dengan bulatan pori adalah pengundang kegiuran yang sempurna. Padat, bantat, sedikit basah. Kali ini rela tidak rela dia harus mengakui kelalaiannya. Rupa-rupanya ia lupa menambahkan satu komposisi bahan saja, bubuk pengembang. Tapi tanpa ia sangka dikemudian hari justru yang konon tadinya resep gagal itu menjadi kue lezat yang bahkan digemari lebih banyak orang. 

Entah ini dongeng atau benar realita kue buatan sang koki di negeri antah berantah. Setidak ada sececer hikmah yang bisa kita raup di sana. Bahwa kita kadang terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Bahwa mungkin kisah yang kita ukir layaknya sepotong brownies itu. Tidak seperti yang mulanya diinginkan. Tapi selalu ada Pemberi kejutan dibalik sepahit apapun "ketidakinginan" itu terjadi.

Tidak ada yang istimewa dari ketidakberaturan tulisan ini.   
Semoga kisah yang pernah ada menjadi kue-kue lezat seperti apapun bentuknya.
Lagi-lagi, seberapa jauh seseorang pergi tidak ada yang benar-benar pergi selama nama-nama masih atau setidaknya pernah tersebut dalam doa-doa.

Kupetikkan sebuah sajak lama:

Yang fana adalah waktu. 
Kita abadi: memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa. “Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu. Kita abadi.  (Sapardi Djoko Damono dalam Perahu Kertas, 1982)


Semarang, 5 Februari 2016 

gambar: thecookierookie.com

0 komentar:

Bijaklah!

12.29 0 Comments

Tertawa tanpa sadar bahwa sejatinya tak ada yang kita tertawakan
Menangis  tanpa tahu pasti apa yang sedang ditangisi
Atau kita tak tahu sedang tertawa atau menangiskah kita bahkan
Karena ekspresi kadang nisbi
Karena ekspresi kadang penuh kepuraan

Hidup ini, tidak semua hal bisa dijelaskan dengan logika
Tapi manusia, kadang berlagak makhluk paling peka sedunia
Segala menuntut penjelasan
Segala prasangka terus saja alirkan pertanyaan

Bijaklah!
Kadang tak semua yang kau dengar lantas turut kau ucapkan

Bijaklah!
Kadang tak semua rasa penasaran begitu saja kau pertanyakan


Gambar: http://1.bp.blogspot.com


0 komentar:

Surat Cinta untuk Kamu Part 2

02.16 0 Comments

Suatu sore di awal bulan kesembilan tahun lalu, langit sedang tidak mendung tapi juga tidak begitu cerah. Adalah sebuah forum di pelataran joglo yang mempertemukan beberapa gelintir mahasiswa, termasuk aku yang turut  duduk berjibaku. Pelataran yang tidak begitu luas itu jadi saksi bisu forum yang cukup “hangat”. Sejauh pemahamanku yang masih dangkal ini, pembicaraan dimana sebuah pertanyaan dijawab dengan pertanyaan, dan kembali diputar pertanyaan lagi membuat telinga bising. Aneka lontaran sindir bahkan nyinyir yang membuat  perut yang tadinya laparpun mungkin sontak akan menjadi kenyang seketika. Lidah atau bahkan mungkin tanganpun bisa gatal ingin turut andil berkeruh ria.

Sayangnya, menjadi ahli retorika sama sekali bukan bakat yang kumiliki. Sekadar pertanyaan dan tanggapan sederhana yang sesekali turut kulontari. Berbeda dengan seorang berkacamata yang duduk persis di sebelahku. Dia pandai berargumentasi, lihai bercakap membela diri, dan berdebat pun bukan hal asing lagi. Sejauh yang ku kenal, dia selalu di garda depan membela hal yang seharusnya ia bela. Tapi sedari tadi hanya duduk diam sambil sesekali membuka gadgetnya di saat forum mulai “berhangat-hangat ria”.

Matahari sudah tak nampak, tenggelam ke paraduannya. Kami pun berhambur ke peraduan masing-masing. Forum berakhir. Tetiba seorang yang kutunggu suaranya sedari tadi menepis segala tanda tanya di benakku yang datang dari diamnya. Bahwa dia sengaja tak bersuara lantaran belum menuntaskan satu juz bacaan Al-Qurannya. Bahwa begitu takutnya ia jika bicaranya hanya akan menambah kekeruhan dan mengeluarkan apa yang tak seharusnya ia keluarkan. Bahwa sesungguhnya ia tahu yang menyimpang perlu diluruskan, tapi apa gunanya ketika kita sudah tak saling mendengar. Betapa indah dia mempraktikkan teori ketika lisanmu tak lagi diperduli maka cukup biarkan hati mengingkari.

Dari yang mencintaimu aku belajar bahwa agama bukan alat pembenci namun alasan untuk bertoleransi. Bahwa beragama adalah memperlakukan semua orang sama tanpa prasangka. Mencintai apa yang kita yakini tak berarti memusuhi yang lain. Dan lagi, untuk apa amanah ada jika ia hanya berujung menambahkan saling benci bukan?

Tetiba ada rasa malu yang merasuk atas status mahasiswa muslim yang internalisasinya dipertanyakan. Sebagai muslim tak sepatutnya paradoks dengan pedoman yang dipegang, ialah apa yang sudah lengkap tertuang dalam Al-Quran. Begitu mudahnya Allah membolak-balikkan hati. Dan memang tak melulu lewat hal-hal dramatis. Entah korelasi apa yang pada akhirnya mengubah babak baru pemikiran seorang yang memuarakan segala ketidakpahaman pada kejenuhan dan ketidakpedulian. Sederhana, ringan, tapi begitu mengena.

Mungkin kadang seseorang butuh jeda, seperti rangkaian kalimat yang butuh spasi agar bias dimakna. Dan pada akhirnya, semua bermuara pada niat semua bermula. Bahwa aku mulanya hanya ingin mengenalmu. Bahwa aku mulanya hanya mencoba tak menjadi yang tak peduli dengan keberadaanmu. Bahwa aku mulanya hanya berdiri menentukan pilihan dalam keterpaksaan.

Lantas kupikir lagi. Kucari-cari lagi. Ternyata aku hanya belum benar-benar paham apa yang kau ajarkan. Ternyata aku hanya mengkerdilkan apa yang selama ini tak mampu kulihat.

Tentang undangan syuro yang kuabaikan. Sesungguhnya syuro itu lebih mendekati kebenaran dalam mengambil kesimpulan. Syuro itu  menggali ide-ide cemerlang, memperoleh masukan pemikiran,. Syuro itu terhindar dari kesalahan. Syuro itu terjaga dari celaan. Syuro itu selamat dari penyesalan. Syuro itu persatuan di antara hati. Syuro itu mengikuti atsar salafus-shalih. Barangkali seorang yang mengatakan itu tidak penting hanyalah orang yang belum mengerti atau belum mampu memberi.“Tidak ada kebaikan dalam suatu urusan yang diputuskan tanpa dengan musyawarah.” Seperti ucap sahabat Umar Bin Khattab mengingati.

Tentang ajakan diskusi-diskusi mengupas realita yang sekadar kuanggap perkumpulan wacana. Lagi-lagi anggapan itu hanya karena seorang yang belum mengerti. Seperti cukilan kredomu, mengajari tuk menjadi penghitung risiko yang cermat, tetapi bukan orang-orang yang takut mengambil risiko. Maka senantiasalah mengisi hari-hari dengan diskusi-diskusi yang bermanfaat dan jauh dari kesia-siaan, serta kerja-kerja yang konkret bagi perbaikan masyarakat.

Tentang berdiri bersama bersuara di depan gedung pemerintahan yang kuanggap itu nyanyian tanpa makna. Dan kicau-kicau di social media, berpeluru tagar dan bombardir share informasi sebagai laras senjata yang kuanggap terlalu lucu untuk mengubah dunia. Ah, seorang yang berkata begitu hanya belum tahu apa itu perjuangan. Berdirinya mereka atas dasar diskusi dan kajian yang matang, menimbang perkara haq dan bathil. Bahwa bersuaranya mereka bersandar pada keyakinan "Kezhaliman akan terus ada bukan karena banyaknya orang-orang jahat tetapi karena diamnya orang-orang baik." Bahwa kicau-kicau dan tagar memenuhi dunia maya atas dasar paham, bukan sekadar taqlid atau gaya-gayaan mengikuti trending topik. Boleh kucukil lagi kredomu, bahwa mereka “pemuda yang kritis terhadap kebatilan.”

Pada akhirnya aku harus mengungkapkan ini. Sekali lagi pada hal-hal sebelumnya aku memang mudah jatuh cinta. Namun seiring bergulirnya waktu, maaf aku memang masih gagal mencintaimu. Titik kulminasi rasa cinta adalah ketika sebuah pengorbanan terkonversi menjadi kebahagiaan terbesar yang bisa kita rasakan. Kata orang cinta adalah memberi kan? Tapi sayangnya aku belum memberi apa-apa untukmu.

Padahal mencintaimu itu sederhana, cukup dengan berusaha biasa saja. Berusaha biasa menjadikan kemenangan Islam sebagai jiwa perjuangannya. Berusaha biasa menjadikan kebathilan sebagai musuh abadinya. Berusaha biasa menjadikan solusi Islam sebagai tawaran perjuangannya. Berusaha biasa menjadikan perbaikan sebagai tradisi perjungannya. Berusaha biasa menjadikan kepemimpinan umat sebagai strategi perjuangannya. Berusaha biasa menjadikan persaudaraan sebagai watak muamalahnya.

“Wahai orang-orang yang beriman! Maukah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab yanag pedih? Dan kamu beriman Kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad dijalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebiih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS Ash-Shaff: 10-11)

Ayat yang indah bukan? Para ulama mengatakan, ketika Allah memulainya dengan memanggil orang-orang yang beriman dalam suatu firman-Nya, maka betapa berharga apa yang hendak difirmankan berikutnya. Hakikat jihad adalah bersungguh-sungguh mengerahkan seluruh tenaga dan potensi untuk merealisasikan segala yang dicintai-Nya, dan menjauhi segala hal yang dibenci-Nya. Jika dengan mencintaimu menumbuhkan kesungguhan tuk semakin mendekatkan diri dengan segala yang dicintai-Nya, dan menjauhkan diri dari segala hal yang dibenci-Nya, maka aku yakin ia tak lain salah satu wujud perniagaan itu. Insya Allah.

Untukmu KAMMI, dari seorang mahasiswa muslim yang sedang berusaha benar-benar mencintaimu.

Gambar: https://pkkammites.files.wordpress.com

0 komentar:

Bapak

23.33 0 Comments

Bapak, putrimu sudah besar ya.

Dongeng-dongeng yang sering kau ceritakan sebelum tidur, rasanya baru kemarin kudengar. Kancil si pencuri timun, ande-ande lumut beserta para klenting, si ayam jantan yang tanduknya dipinjam si kambing, kakek tua dan cucunya yang menyamar jadi tonggeret, dan banyak lagi artis-artis dongeng yang kau perkenalkan. Di panggung bewujud teras tanpa bangku, ketika malam hanya berteman temaram lentera bercat biru. Mereka masih terjebak dalam labirin memori kecilku. Masih berkelibat, seolah terngiang lagi di telingaku.

Bapak, putrimu sudah besar ya.

Sarung lusuh itu, aku masih ingat dulu sering ku ikatkan ke kursi-kursi dan jadilah gubuk ajaib. Dulu kau bilang aku si kecil yang hebat dan lucu. Lalu kau angkat aku dan daratkan di perutmu. Kau rebahkan diri dalam bentangan sarung itu, lalu kita menyebutnya perahu. Bergoyang ke kanan dan kiri seolah diterjang gelombang di samudera biru. Sarung itupula yang kau gulung-gulung dan kau tarik-tarik, lalu jadilah boneka hasil sulapanmu. Pak, kau memang pembuat mainan nomer satu.

Bapak, putrimu sudah besar ya.

Bunyi berisik kolak dan arit saling beradu yang menggantung di belakang pinggangmu,  layaknya simfoni kecil pengiring semangat tiap tapak langkahmu. Barangkali itu sebabnya panas terik hujan rintik tak kau rasa ya pak? Bapak selalu terlihat begitu hebat berdiri di atas bajak kayu, lalu sapi-sapi itu berlari kesana kemari. Menghamburlah lumpur sawah. Tak kalah gagah dengan para koboi yang berpacu di atas kudanya. Putri kecilmu hanya bisa turut mengekori sapi-sapi turun ke sungai, merumput di tepian tanah lapang, serta menggiring mereka ke kandang. Lantas sesekali bersembunyi di balik tubuhmu jika sapi-sapi itu mulai ngambek ku jaili. Kupikir mereka memang kadang pilih kasih. Selalu menurut padamu, tapi padaku? Sebaliknya. Tapi kini, sungai-sungai telah semakin kecil debitnya. Sapi-sapi itu pun sudah tak berbekas lagi kandangnya. Orang-orang lebih memilih sapi-sapi mesin menggerus sawah mereka, tapi kolak dan aritmu tetap saja bersimfoni merdu.

Bapak, putrimu sudah besar ya.

Rasanya baru kemarin, kemeja batik cokelat itu kau kenakan mengambil rapor dengan  seragam putih merahku. Aku, putri kecilmu yang sedari dulu memang pelupa dan tergesa-gesa. Mulai dari mencarikan tongkat bambu, bongkah tanah liat, hingga segulung kayu. Betapa Maha Baiknya Tuhan, Dia mengirimkanku seorang bapak yang selalu siap siaga.

Rasanya baru kemarin, kemeja itu pula kau kenakan mengambil rapor dengan seragam putih biruku. Aku, putri kecilmu mu nan lugu yang mencari-cari diri. Demi seragam itu kau relakan putra kesayanganmu menjeda. Ah bukan, karena seragam itu putri kecilmu semakin bangga. Bahwa ada lelaki-lelaki yang senantiasa melindungi. Ada lelaki-lelaki yang dalam bahasa diamnya terus peduli. Tidak ada hal yang lebih indah untuk ku syukuri. Terima kasih, mas, pak!

Rasanya baru kemarin, melihat sebahagia-bahagia senyummu mengantar wisudaku di masa putih abu-abu. Sepucuk surat undangan tetiba membuatmu panik. Tak ada sepatu mengkilap. Tak ada kemeja apalagi jaz mewah untuk sekadar berdiri di atas panggung. Ku bilang cukup kemeja batik cokelat itu. Sepanjang perjalanan 20 km di dalam angkutan umum, tak hentinya kau bercerita. Putrimu hanya tersenyum, bapak aku baru melihat sosok ceriamu. Pak, selama ini apakah diam-diam kau sembunyi dalam ketenanganmu?

Bapak, putrimu sudah besar ya.

Pak, aku mungkin terlalu gengsi untuk kembali meminta kau perdengarkan kisah-kisah dongeng yang sejujurnya masih membawa candu rindu. Lantas kuganti bercerita betapa bahagia di rantau mengukir kisah bersama kawan dari berbagai penjuru negeri. Kau tersenyum.
Pak, aku mungkin sudah terlalu tidak lucu untuk bermain perahu ataupun berlindung di bawah gubuk ajaib dari sarungmu. Lantas sesekali aku bercerita tentang tenda-tenda setengah bulat yang ku bangun di atas gunung atau tentang perjalanan di atas kapal bersama kawan di rantau. Kau kembali tersenyum.

Pak, aku mungkin sudah jarang mendengar simfoni kolak dan arit di belakang pinggangmu. Tak lagi bersembunyi selepas menjaili sapi-sapi. Lantas akupun bercerita, berpura betapa mandiri hidup di tanah rantau. Bahwa orang-orang begitu mudah mengandalkan teknologi. Kau tetap hanya tersenyum.

Bapak, putrimu sudah besar ya.

Pak, aku kini sudah tak berseragam. Tapi aku sedang berjuang, melihatmu lagi dengan keceriaan yang sama, kebanggaan yang sama, bahkan seharusnya lebih besar. Aku kini jauh, tak nampak tindak dari pandanganmu setiap waktu.  Tapi kau selalu terlalu percaya putrimu menjaga apa yang harus dijaga, melakukan apa yang harus dilakukan. Lantas aku bertanya, kelak baju apa yang akan kau kenakan di hari itu? Kau masih saja tersenyum.

Tak ada seorang bapakpun yang tak gelisah saat putrinya berjuta kaki terpisah. Entah apa arti semua senyum itu. Barangkali sebuah isyarat kau menangkap segala yang kuceritakan tak lain alibi kerinduanku padamu. Atau seperti dulu diam-diam kau sembunyi dalam ketenanganmu, pun barangkali diam-diam kau sembunyi dalam senyum itu.

Bapak, putrimu sudah besar ya.

Dalam diam, diam-diam rinduku pun semakin besar.


Gambar: http://ayah4anak.blog.com

0 komentar: