Bapak, putrimu sudah besar ya.
Dongeng-dongeng yang sering kau
ceritakan sebelum tidur, rasanya baru kemarin kudengar. Kancil si pencuri timun, ande-ande lumut beserta para klenting, si ayam jantan yang tanduknya dipinjam
si kambing, kakek tua dan cucunya yang menyamar jadi tonggeret, dan banyak lagi
artis-artis dongeng yang kau perkenalkan. Di panggung bewujud teras tanpa
bangku, ketika malam hanya berteman temaram lentera bercat biru. Mereka masih
terjebak dalam labirin memori kecilku. Masih berkelibat, seolah terngiang lagi
di telingaku.
Bapak, putrimu sudah besar ya.
Sarung lusuh itu, aku masih ingat
dulu sering ku ikatkan ke kursi-kursi dan jadilah gubuk ajaib. Dulu kau bilang
aku si kecil yang hebat dan lucu. Lalu kau angkat aku dan daratkan di perutmu.
Kau rebahkan diri dalam bentangan sarung itu, lalu kita menyebutnya perahu.
Bergoyang ke kanan dan kiri seolah diterjang gelombang di samudera biru. Sarung
itupula yang kau gulung-gulung dan kau tarik-tarik, lalu jadilah boneka hasil
sulapanmu. Pak, kau memang pembuat mainan nomer satu.
Bapak, putrimu sudah besar ya.
Bunyi berisik kolak dan arit saling
beradu yang menggantung di belakang pinggangmu,
layaknya simfoni kecil pengiring semangat tiap tapak langkahmu. Barangkali
itu sebabnya panas terik hujan rintik tak kau rasa ya pak? Bapak selalu
terlihat begitu hebat berdiri di atas bajak kayu, lalu sapi-sapi itu berlari
kesana kemari. Menghamburlah lumpur sawah. Tak kalah gagah dengan para koboi yang
berpacu di atas kudanya. Putri kecilmu hanya bisa turut mengekori sapi-sapi turun
ke sungai, merumput di tepian tanah lapang, serta menggiring mereka ke kandang.
Lantas sesekali bersembunyi di balik tubuhmu jika sapi-sapi itu mulai ngambek
ku jaili. Kupikir mereka memang kadang pilih kasih. Selalu menurut padamu, tapi
padaku? Sebaliknya. Tapi kini, sungai-sungai telah semakin kecil debitnya.
Sapi-sapi itu pun sudah tak berbekas lagi kandangnya. Orang-orang lebih memilih
sapi-sapi mesin menggerus sawah mereka, tapi kolak dan aritmu tetap saja bersimfoni
merdu.
Bapak, putrimu sudah besar ya.
Rasanya baru kemarin, kemeja
batik cokelat itu kau kenakan mengambil rapor dengan seragam putih merahku. Aku, putri kecilmu
yang sedari dulu memang pelupa dan tergesa-gesa. Mulai dari mencarikan tongkat
bambu, bongkah tanah liat, hingga segulung kayu. Betapa Maha Baiknya Tuhan, Dia
mengirimkanku seorang bapak yang selalu siap siaga.
Rasanya baru kemarin, kemeja itu
pula kau kenakan mengambil rapor dengan seragam putih biruku. Aku, putri
kecilmu mu nan lugu yang mencari-cari diri. Demi seragam itu kau relakan putra
kesayanganmu menjeda. Ah bukan, karena seragam itu putri kecilmu semakin
bangga. Bahwa ada lelaki-lelaki yang senantiasa melindungi. Ada lelaki-lelaki
yang dalam bahasa diamnya terus peduli. Tidak ada hal yang lebih indah
untuk ku syukuri. Terima kasih, mas, pak!
Rasanya baru kemarin, melihat
sebahagia-bahagia senyummu mengantar wisudaku di masa putih abu-abu. Sepucuk surat
undangan tetiba membuatmu panik. Tak ada sepatu mengkilap. Tak ada kemeja
apalagi jaz mewah untuk sekadar berdiri di atas panggung. Ku bilang cukup
kemeja batik cokelat itu. Sepanjang perjalanan 20 km di dalam angkutan umum,
tak hentinya kau bercerita. Putrimu hanya tersenyum, bapak aku baru melihat
sosok ceriamu. Pak, selama ini apakah diam-diam kau sembunyi dalam
ketenanganmu?
Bapak, putrimu sudah besar ya.
Pak, aku mungkin terlalu gengsi
untuk kembali meminta kau perdengarkan kisah-kisah dongeng yang sejujurnya
masih membawa candu rindu. Lantas kuganti bercerita betapa bahagia di rantau
mengukir kisah bersama kawan dari berbagai penjuru negeri. Kau tersenyum.
Pak, aku mungkin sudah terlalu
tidak lucu untuk bermain perahu ataupun berlindung di bawah gubuk ajaib dari
sarungmu. Lantas sesekali aku bercerita tentang tenda-tenda setengah bulat yang
ku bangun di atas gunung atau tentang perjalanan di atas kapal bersama kawan di
rantau. Kau kembali tersenyum.
Pak, aku mungkin sudah jarang
mendengar simfoni kolak dan arit di belakang pinggangmu. Tak lagi bersembunyi
selepas menjaili sapi-sapi. Lantas akupun bercerita, berpura betapa mandiri
hidup di tanah rantau. Bahwa orang-orang begitu mudah mengandalkan teknologi.
Kau tetap hanya tersenyum.
Bapak, putrimu sudah besar ya.
Pak, aku kini sudah tak
berseragam. Tapi aku sedang berjuang, melihatmu lagi dengan keceriaan yang
sama, kebanggaan yang sama, bahkan seharusnya lebih besar. Aku kini jauh, tak
nampak tindak dari pandanganmu setiap waktu. Tapi kau selalu terlalu percaya putrimu
menjaga apa yang harus dijaga, melakukan apa yang harus dilakukan. Lantas aku
bertanya, kelak baju apa yang akan kau kenakan di hari itu? Kau masih saja
tersenyum.
Tak ada seorang bapakpun yang tak
gelisah saat putrinya berjuta kaki terpisah. Entah apa arti semua senyum itu. Barangkali
sebuah isyarat kau menangkap segala yang kuceritakan tak lain alibi kerinduanku
padamu. Atau seperti dulu diam-diam kau sembunyi dalam ketenanganmu, pun barangkali
diam-diam kau sembunyi dalam senyum itu.
Bapak, putrimu sudah besar ya.
Dalam diam, diam-diam rinduku pun
semakin besar.
Gambar: http://ayah4anak.blog.com
0 komentar: