Ramadhan... Seperti apa kau kini?
Apakah kau masih semerdu iringan
kentongan bambu menjelang sahur? Bersuara sahut-menyahut memenuhi telinga. Yang
dalam sekian detik kemudian memaksa mata tuk terbuka dan menggoda kami melongok
jendela. Lalu kamipun terlelap kembali seiring semakin lirihnya lantunan
kentongan itu. Padahal kami hafal, satu jam berlalu setelah itu tubuh kami pasti
sudah digoyang-goyangkan ibu lalu dibawanya kami kami ke depan meja makan.
Apakah kau masih seriang
letusan-letusan mercon yang memecah sunyi tiap pagi? Yang bahkan kami relakan
setumpuk buku catatan disulap menjadi serpihan-serpihan berantakan di halaman
atau bahkan di pinggir jalanan. Padahal kami tahu, tiap pagi suara itu
memanggil omelan-omelan para orang dewasa yang membuat kami lari bersembunyi. Tapi
tetap saja kami saling sepakat untuk datang lagi tiap pagi dengan benda dan
suara yang sama
Apakah kau masih semanis
semangkuk kolak buatan ibu? Yang membuat segerombol bocah berebut meja
tiap
azan maghrib tiba. Di sana.. selalu ada 6 mangkuk dengan porsi yang
sama. Atau bahkan kau masih selucu es dan sederet jajanan yang
kami tumpuk sedari siang hari. Lalu kami biarkan mereka bersembunyi di
laci.
Padahal tiap maghrib tiba, kami selalu dibuat bingung oleh perut kecil
kami
yang tak muat menampung semua harta persembunyian kami itu.
Apakah kau masih sesyahdu mushala
kecil di samping rumah kami? Yang
membuat kami berebut microfon tiap malam untuk bertadarus, saling berlomba
lembar siapa yang terjauh. Padahal kami tahu bacaan kami masih pas-pasan,
bahkan membuat tertawa para orang dewasa dengan suara kami yang ngos-ngosan. Ditambah
lagi sesekali bisikan kecil dan candaan yang tertangkap di pengeras suara.
Ah, mungkin sudah habis stok
tumpukan buku catatan kami yang memuat kisah tentang kentongan, mercon,
semangkuk kolak, ataupun setumpuk harta persembunyian kami. Atau mungkin semua
telah disulap menjadi mercon yang telah diletuskan lalu berhamburan, hingga
kini tak lagi kami dengar suaranya.
Tapi yang ku tahu, tiap waktu
berlalu... kata ‘kami’ entah sukarela ataupun terpaksa harus berganti
pemeran.
Dan pada akhirnya, masing-masing ‘kami’ menjadi ‘aku’ yang harus
mendiksikanmu
dengan cara yang berbeda. Dan sepatutnya memaknaimu tanpa harus terikat
semua metafora, ruang, suasana, atau apapun yang dapat berganti seiring
berlalunya waktu.
Tentangmu Ramadhan... Seperti apa
kau kini kumaknai?
Tegal, 27 Juni 2014
Tegal, 27 Juni 2014
0 komentar: