Februari dan Sepotong Brownies

05.16 0 Comments

Kuucapkan selamat untuk mejadi yang istimewa. Menjadi dua angka yang berjejer di dalam sana. Adalah angka empat dan angka lima. Kita yakin tidak ada kebetulan yang tak disengaja, mungkin itu pula kenapa kalian berjejer dan saling beruntun di sana. Di dalam tempat yang istimewa bernama Februari. 

Tunggu, istimewa itu bukan karena hegemoni kasih sayang yang dispesialkan. Bisa dibilang dia bulan paling tidak konsisten diantara sebelas bulan lainnya. Dia berbeda dari yang lain. Dari sudut lain berarti keistimewaan bukan?

Februari. Konon, awalnya bangsa Romawi menjadikannya bulan penghabisan, bulan penghujung, atau bulan penutup ketika Maret sempat pernah menjadi permulaan tahun. Lantas semua berubah tatkala Januari akhirnya bertengger di depannya. 

Ini bukan tentang sejarah Februari atau seberapa istimewa Februari. Barangkali hanya efek suara hujan yang tetap berisik walau ku tutup pintu dan jendela rapat-rapat. Apa hubungannya? Entahlah, tetiba jemari ingin menuliskan dua tiga patah kata tentangnya. Lalu ia mengalir begitu saja.

Hai kalian, di sudut manapun berada. Aku teringat sebuah palung tulisan yang hingga kini masih kutunggu permukaannya. Di sana tertulis kalimat "sepotong brownies". Lagi-lagi hujan membuatku bermetafora...

Sepandai-pandai tupai melompat ia jatuh juga. Seorang koki keheranan kue coklat buatannya tak seperti seharusnya. Lembut, empuk, tebal, dengan bulatan pori adalah pengundang kegiuran yang sempurna. Padat, bantat, sedikit basah. Kali ini rela tidak rela dia harus mengakui kelalaiannya. Rupa-rupanya ia lupa menambahkan satu komposisi bahan saja, bubuk pengembang. Tapi tanpa ia sangka dikemudian hari justru yang konon tadinya resep gagal itu menjadi kue lezat yang bahkan digemari lebih banyak orang. 

Entah ini dongeng atau benar realita kue buatan sang koki di negeri antah berantah. Setidak ada sececer hikmah yang bisa kita raup di sana. Bahwa kita kadang terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Bahwa mungkin kisah yang kita ukir layaknya sepotong brownies itu. Tidak seperti yang mulanya diinginkan. Tapi selalu ada Pemberi kejutan dibalik sepahit apapun "ketidakinginan" itu terjadi.

Tidak ada yang istimewa dari ketidakberaturan tulisan ini.   
Semoga kisah yang pernah ada menjadi kue-kue lezat seperti apapun bentuknya.
Lagi-lagi, seberapa jauh seseorang pergi tidak ada yang benar-benar pergi selama nama-nama masih atau setidaknya pernah tersebut dalam doa-doa.

Kupetikkan sebuah sajak lama:

Yang fana adalah waktu. 
Kita abadi: memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa. “Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu. Kita abadi.  (Sapardi Djoko Damono dalam Perahu Kertas, 1982)


Semarang, 5 Februari 2016 

gambar: thecookierookie.com

Erna

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: