Aku Tergeletak?

05.19 0 Comments

Masih ingatkah dulu tentang kau dan aku? Kisah tentang langkah kaki kecil beralas sandal jepit yang menghantarkan persuaan kita di surau dekat rumahmu. Betapapun lidahmu belum cukup fasih, kau bersama teman-temanmu dengan tekun melantunkanku. Betapa bahagia itu sederhana bagiku, saat kau rayapkan telunjuk kecilmu di barisan ayat-ayatku. Ah walau dulu seringkali telunjuk itu terhenti dan mengulang lagi ayat yang keliru.

Aku yakin sesederhana itu pula alasan bahagia ustadzmu. Saat mendengarkan kau dan teman-temanmu yang sudah kian tak terbata melantunkanku tiap malam bulan ramadhan tiba. Walau sesekali kau nakal. Berebut memegang microfon, berebut giliran, berlomba sesiapa khatam duluan, hingga candaanmu kerap tertangkap pengeras suara surau. Betapa lucunya, entah kau memang polos atau pura-pura polos bahwa kelucuan itu tak pernah terdengar?

Waktu berlalu, ramadhan berikutnya datang dan datang lagi. Mungkin waktu mulai memakan kepolosanmu. Atau mungkin kau mulai tahu betapa mulianya melantunkanku. Ustadzmu atau mungkin bapak ibumu telah memberi tahumu tentang rahasia itu. Lalu kau mulai khusyuk melantunkanku bersama teman-temanmu. Tapi kini, aku ditemukan tergeletak di ruang masa kecilmu.

Mungkin benar bahwa tidak ada yang lebih lapar daripada waktu.
Lihatlah, aku lusuh bahkan terlebih telah rombeng tubuhku ia makan. Aku ingin sekali menanyakan tentang hal ini kepadamu.

Apakah mungkin karena kini kau bukan lagi bocah kecil yang punya cukup waktu untuk bercengkrama denganku? Bahwa aku harus mentolerir segala kesibukanmu itu. Tapi apa kau lupa pesan ustadzmu tentangku? Bahwa aku bukan sekadar pengisi waktu senggang yang bahkan menurutmu tak kau punya sekarang. Jika benar begitu, betapa sedihnya menjadi yang terlupa oleh orang sesibuk dirimu itu.

Atau mungkinkah aku tak lebih berarti dibanding “papan elektronik” yang membuat jemarimu bak tertarik magnet mengalihkannya dari permukaanku? Bahwa sekali jemarimu merayap di sana kau bisa membaca seisi dunia. Bahwa di sana kau bisa membuktikan diri sebagai makhluk sosial yang “sesungguhnya”. Bangun tidur kau baca, siang hari kau tatap, hingga malam menjelang tidur lagi tak pernah luput perhatianmu darinya. Jika benar begitu, betapa irinya menjadi yang tersaingi oleh benda sebermakna itu.

Selapang-lapangnya alasan yang kuterima adalah bahwa mungkin kau hanya lupa dimana dulu kau menyimpanku. Bahwa ketika kau begitu rindu tapi tak jua menemukanku, lalu kau putuskan menggantikanku dengan yang baru. Atau ternyata yang menyita perhatianmu di hadapan “papan elektronik”mu itu tak lain adalah aku. Kau selipkan aku sebagai fitur primadona diantara yang lain. Karena diam-diam ternyata kau ingin membacaku dimanapun dan kapanpun lewat papan kecil itu. Semoga saja. Jika benar begitu, bagaimanapun sungguh aku bisa berbahagia sekarang.

Dariku, yang termakan waktu dan tergeletak di ruang masa kecilmu.

Tegal, 28 Februari 2015

Erna

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: