Surat Cinta untuk Kamu part 1
Ah tentang mahasiswa muslim, tetiba membuatku teringat denganmu. Dua
kata ini ada pada namamu. Dulu, aku sempat mengernyitkan
dahi dengan orang-orang yang dengan ringan mengatakan mereka mencintaimu sedari
dulu. Orang-orang yang rela mengorbankan waktu, fikiran, tenaga, materi, dan
segalanya untukmu. Semacam ada intervensi
mahadahsyat yang mendorong mereka memperjuangkanmu. Di
sisi yang berlainan pun ada orang-orang yang tanpa ampun memaki, menghujat,
memojokkan, dan mengeluarkan segara lontaran tak mengenakkan. Semacam ada
pesona yang mereka ketakutan bahkan sebegitu mati-matian memperjuangkan
jatuhmu. Dua kubu, entah yang mereka perjuangkan adalah berbeda, tentang
kecintaan dan kejatuhan. Dimataku merela sama-sama kubu aneh atas nama
memperdulikan keberadaanmu.
Memangnya ada
tidaknya kamu di muka bumi sebegitu berarti apa?
Lantas, di tengah
jalan tetiba
aku semakin kebingungan harus memilih kubu yang mana. Barangkali ini jebakan
hidup. Ketika telinga kananku berisik oleh mereka yang kekeuh memperjuangkanmu sedangkan telinga kiriku begitu bising oleh
mereka yang bersikeras menjatuhkanmu. Aku galau. Terlintas bahwa menjadi tidak peduli adalah hal terbodoh yang
hanya akan menambah kegalauan seorang yang tidak tahu apa-apa. Dan pada akhirnya kepedulian adalah sebuah keterpaksaan.
Adalah keterlanjuran. Adalah keterbuntuan. Adalah jebakan konspirasi posisi dan
kondisi diri.
Akhirnya aku memilihmu. Memilih
mengenalmu lebih jauh. Memilih dikelilingi orang-orang yang kekeuh mencintaimu.
Sebelum-sebelumnya, aku mudah untuk jatuh cinta. Dulu,
tahun pertama dunia kampus aku begitu
bangga dengan dunia keilmiahan yang kuterjuni. Dengan kesibukan, dengan keluarga baru,
dengan perjuangan, dan dengan segenap kerelaan yang harus disertakan disana.
Tahun berikutnya, aku begitu instan mencintai dunia kerohanian dengan segenap liku, kekakuan, “ke-eksklusif-an” kalau kata orang-orang, pun
segala bombardir kebahagiaan,
kepahitan, dan keterjutan dalam
membersamainya. Hingga aku bertahan lebih. Boleh
kubilang di sana adalah corong penguat
komitmen dan cintaku pada dien ini. Satu lagi, dunia
yang sampai sekarang masih mengakarkan cinta. Tentang
perjuangan, tentang tuntutan ketangguhan. Bahwa menjadi yang di balik layar,
tak benar tak berpengaruh apa-apa. Bahwa
menjaga, adalah kontribusi terindah bak kebermanfaatan akar memastikan
pertumbuhan dan kesuburan dahan. Tentu saja di sana pula pada akhirnya yang
mempertemukanku dengan kedua kubu itu.
Setengah tahun berjalan, cinta memang tak bisa dipaksa. Entah sejujurnya, aku tak kunjung menemukan rasa cinta yang tadinya kutebak akan menjadi alur cerita. Tapi rasanya daya pahamku padamu terlalu lambat. Hambar. Dan pada akhirnya, ketidakpahaman bermuara pada kejenuhan dan ketidakpedulian.
After that, undangan syuro di pagi buta hanya pesan biasa yang kuabaikan selepas dibaca, atau cukup dibalas afwan ini afwan itu saja. Ajakan diskusi-diskusi mengupas realita, ah itu paling sekadar perkumpulan wacana. Begitu pula seruan berdiri bersama bersuara di depan gedung pemerintahan sana, kuanggap itu nyanyian tanpa makna. Apalagi sekadar turut serta berkicau-kicau di social media, betapa lucunya ingin merubah dunia nyata hanya berpeluru tagar dan bombardir share informasi sebagai laras senjata yang jelas-jelas maya.
Hambar. Aku tak bisa seperti mereka yang memberi segalanya untukmu. Titik kulminasi rasa cinta adalah ketika sebuah pengorbanan terkonversi menjadi kebahagiaan terbesar yang bisa kita rasakan. Kata orang cinta adalah memberi kan? Tapi sayangnya aku belum memberi apa-apa untukmu. Akhirnya aku ingin mengungkapkan hal ini. Maaf, aku gagal mencintaimu.
Gambar: https://fitriology.files.wordpress.com
0 komentar: