Surat Cinta untuk Kamu part 1

06.04 0 Comments


Kita percaya tentang takdir. Bahwa hidup bukan tentang kebetulan kan?  Maka perkenalkan, aku seorang mahasiswa muslim. Satu kata terakhir adalah sebuah status yang tanpa mampu akal mengingat benar-benar awal menyandangnya. Bapak pernah bercerita, dulu, di tanggal yang tertera di akta kelahiranku beliau mengumandangkan adzan di telinga putrinya. Boleh dibilang  secara de jure, sejak itulah status muslim mulai melekat atas perantara dua malaikat dunia yang menjadi madrasahku mengenal islam. Walau secara de facto setiap anak adam bahkan telah bersaksi atas rabb-Nya sebelum lahir ke dunia. Satu kata di depannya adalah sebuah status yang masih belum cukup lama kusandang. Yang satu ini aku ingat, sekitar empat tahun yang lalu 

Ah tentang mahasiswa muslim, tetiba membuatku teringat denganmu. Dua kata ini ada pada namamu. Dulu, aku sempat mengernyitkan dahi dengan orang-orang yang dengan ringan mengatakan mereka mencintaimu sedari dulu. Orang-orang yang rela mengorbankan waktu, fikiran, tenaga, materi, dan segalanya untukmu. Semacam ada intervensi mahadahsyat yang mendorong mereka memperjuangkanmu. Di sisi yang berlainan pun ada orang-orang yang tanpa ampun memaki, menghujat, memojokkan, dan mengeluarkan segara lontaran tak mengenakkan. Semacam ada pesona yang mereka ketakutan bahkan sebegitu mati-matian memperjuangkan jatuhmu. Dua kubu, entah yang mereka perjuangkan adalah berbeda, tentang kecintaan dan kejatuhan. Dimataku merela sama-sama kubu aneh atas nama memperdulikan keberadaanmu. Memangnya  ada tidaknya kamu di muka bumi sebegitu berarti apa?  

Lantas, di tengah jalan tetiba aku semakin kebingungan harus memilih kubu yang mana. Barangkali ini jebakan hidup. Ketika telinga kananku berisik oleh mereka yang kekeuh memperjuangkanmu sedangkan telinga kiriku begitu bising oleh mereka yang bersikeras menjatuhkanmu. Aku galau. Terlintas bahwa  menjadi tidak peduli adalah hal terbodoh yang hanya akan menambah kegalauan seorang yang tidak tahu apa-apa. Dan pada akhirnya kepedulian adalah sebuah keterpaksaan. Adalah keterlanjuran. Adalah keterbuntuan. Adalah jebakan konspirasi posisi dan kondisi diri.

Akhirnya aku memilihmu. Memilih mengenalmu lebih jauh. Memilih dikelilingi orang-orang yang kekeuh mencintaimu.

Sebelum-sebelumnya, aku mudah untuk jatuh cinta. Dulu, tahun  pertama dunia kampus aku begitu bangga dengan dunia keilmiahan yang kuterjuni. Dengan kesibukan, dengan keluarga baru, dengan perjuangan, dan dengan segenap kerelaan yang harus disertakan disana. Tahun berikutnya, aku begitu instan mencintai dunia kerohanian dengan segenap liku, kekakuan, “ke-eksklusif-an” kalau kata orang-orang, pun segala bombardir kebahagiaan, kepahitan,  dan keterjutan dalam membersamainya.  Hingga aku bertahan lebih. Boleh kubilang di sana adalah corong penguat komitmen dan cintaku pada dien ini. Satu lagi, dunia yang sampai sekarang masih mengakarkan cinta. Tentang perjuangan, tentang tuntutan ketangguhan. Bahwa menjadi yang di balik layar, tak benar tak berpengaruh apa-apa. Bahwa menjaga, adalah kontribusi terindah bak kebermanfaatan akar memastikan pertumbuhan dan kesuburan dahan. Tentu saja di sana pula pada akhirnya yang mempertemukanku dengan kedua kubu itu.

Setengah tahun berjalan, cinta memang tak bisa dipaksa. Entah sejujurnya, aku tak kunjung menemukan rasa cinta yang tadinya kutebak akan menjadi alur cerita. Tapi rasanya daya pahamku padamu terlalu lambat. Hambar. Dan pada akhirnya, ketidakpahaman bermuara pada kejenuhan dan ketidakpedulian.

After that, undangan syuro di pagi buta hanya pesan biasa yang kuabaikan selepas dibaca, atau cukup dibalas afwan ini afwan itu saja. Ajakan diskusi-diskusi mengupas realita, ah itu paling sekadar perkumpulan wacana. Begitu pula seruan berdiri bersama bersuara di depan gedung pemerintahan sana, kuanggap itu nyanyian tanpa makna. Apalagi sekadar turut serta berkicau-kicau di social media, betapa lucunya ingin merubah dunia nyata hanya berpeluru tagar dan bombardir share informasi sebagai laras senjata yang jelas-jelas maya.
Hambar. Aku tak bisa seperti mereka yang memberi segalanya untukmu. Titik kulminasi rasa cinta adalah ketika sebuah pengorbanan terkonversi menjadi kebahagiaan terbesar yang bisa kita rasakan. Kata orang cinta adalah memberi kan? Tapi sayangnya aku belum memberi apa-apa untukmu. Akhirnya aku ingin mengungkapkan hal ini. Maaf, aku gagal mencintaimu.

Gambar: https://fitriology.files.wordpress.com

Erna

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: