Kita Hanya

18.44 0 Comments

Hai kalian...
Apa kabar?

Seorang pernah berkata, perjuangan itu seperti nasi. Tanpa rasa sekalipun, tanpa warna sekalipun, ia telah ditakdirkan sebagai “jodoh” bagi perut-perut orang Jawa. Selalu dirindu. Mereka biasa mengenal kata lapar sebagai definisi rindu. Bahkan mereka berhiperbola bahwa betapa tak bisa berjalan di muka bumi ini dengan perut-perut “kosong”. Begitu kiranya hidup tanpa perjuangan.

Tanpa kita abaikan faktor seberapa lapar masing-masing perut, sementara mari bayangkan bahwa tiap hari perut-perut hanya akan bersua dengan nasi, nasi, dan nasi. Kebanyakan kita tentu sepakat bahwa manusia tak lain makhluk yang paling banyak maunya. Maka barangkali itulah sebabnya sayur, soto, penyet, gongso dan kawan-kawannya hadir ke bumi mendampingi piring-piring nasi.

Anggaplah kita adalah jejeran pelengkap nasi yang pernah dipertemukan dalam satu lingkar meja makan. Barangkali aku hanya layaknya cah kangkung yang kandungan zat sedativnya membuat mata mentiung. Atau bahkan mungkin mie instan yang dicap tidak baik untuk kesehatan. Sedangkan kamu barangkali layaknya gongso super pedas yang membuat air mata dan keringat bercucur deras tapi bikin ketagihan sekaligus penghilang was-was. Atau barangkali kamu penyet yang rela gosong tersentuh bara api tapi gurih lengkap dengan lalapan daun kemangi yang sengar tapi wangi. Atau barangkali kamu daging steak mewah berselempang mayonaise yang wah dengan taburan blackpapper yang membuat orang ngiler. Atau barangkali kamu buah segar dan legi yang dijejer bersama hidangan inti. Atau tak lain kamu adalah pengisi gelas-gelas licin yang basah berembun menahan dingin.
Tapi tiap perut punya porsi dan selera masing-masing bukan?

(Duh, mau baper kok jadinya laper… *skip)

Kita, pelengkap nasi yang pernah dipertemukan dalam satu lingkar meja makan…
Kita hanya orang-orang beda rasa, karsa dan rupa yang sedang belajar menjadi sosok dewasa. Bahwa bukan tentang siapa aku siapa kamu siapa dia siapa mereka. Karena justru itu menunjukkan betapa bukan siapa-siapa kita.

Kita hanya orang-orang egois yang sedang belajar itsar dan mengalahkan diri. Bahwa hidup bukan untuk diri sendiri melainkan untuk saling menggenapi dan berlomba memberi arti.

Kita hanya orang-orang buta yang seringkali berlagak melihat segala. Kita hanya orang-orang tuli yang seringkali berlagak mendengar segala. Bahwa kita hanya sedang belajar menyiapkan sepeka-peka indera dan meraup sebanyak-banyak hikmah yang tercecer atas hingar bingar, bising dan puing-puing.

Kita, yang dipersaudarakan, dipertemukan, maupun dihadap-hadapkan, mulanya hanya orang-orang asing. Maka bisa jadi sewaktu-waktupun kita akan kembali asing. Bahwa kita yang bahkan belum tahu kapan menjadi gambar yang sempurna, dengan segala yang telah terlewati mungkin hanya menjadi sekelumit kisah untuk melengkapi puzzle masing-masing.

Jika perjuangan ibarat nasi. Terima kasih, yang telah bersama tersaji.


(Semarang, 1 Januari 2016)
Teruntuk rekan seperjuangan: Elang biru, Garuda Biru, Samudera Biru, Perisai Biru, Ukhoya, Legislator Akademisi, Kabinet Muda, Sayap Sayap Langit, Punggawa on Time, Esya Fighter, BC Team, Aplikasi, seluruh ikhwah Unnes, dan Teman Bermain di bawah atap sana. Anggaplah ini pengganti belum tergenapi janji menuliskan kalian di “lembar persembahan” awal tahun ini.

Gambar: Dalam Dekapan Ukhuwah

Erna

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: