Tentang Memori Pagi
Pagi, gurat-gurat jingga di ufuk timur
Menembus, menerobos kabut-kabut
yang mengabur
Garis-garis terang mengusir
bayang gelap
Mengusik senyap
Uap-uap dingin mengembun
Membentuk titik-titik bening di
ujung daun
Titik-titik menebar aroma kesejukan
Titik-titik yang meronakan ketulusan
Titik-titik sederhana tanpa
ambisi
Ambisi tuk diakui keberadaan diri
Hingga ketika jingga telah
membiru
Ketika bayang-bayang dahan tak
sepanjang dahulu
Titik-titik harus taat, patuh
pada kodrat tuhannya
Tergerus siang yang menyapa
Ia lenyap, pergi behamburan
Kembali menjadi uap-uap betebaran
Mari belajar menjadi embun-embun
kehidupan, yang memberi makna kesejukan. Lihatlah betapa tulus ia, betapa
ikhlas ia. Betapa ia tahu, benar-benar tahu. Bahwa ia hanya setitik makhluk,
hadirnyapun hanya sekejap. Karena ketika siang datang, ia tak lebih dari bagian
memori pagi. Tapi tak pernah lelah ia, tak pernah galau ia. Tak pernah ia
risaukan ketika sejuknya harus terlupa ketika terang datang. Bukankah sudah
menjadi kodrat ilahi, tak selamanya kita diakui.
Ketika pagi harus pergi tergantikan siang dan sejuk-sejuk itu kembali memudar, yakinlah sepanjang Tuhan masih menghendaki bumi berputar, maka pagi itu akan kembali datang. Semua yang tercipta pastilah ada masanya, kita sebagai ciptaan-Nya mampukah memanfaatkan masa itu dengan bijak? Memberikan kebermanfaatan yang maksimal. Karena ada masa di mana kita tak mampu lagi menebar manfaat, masa ketika mulut dikunci, tiada lagi kata, tiada lagi suara. Dan tak ada lagi memori pagi ketika langit telah bertemu bumi, dan bumipun tak mampu lagi memutar dirinya tanpa kehendak ilahi.
Semarang, 1 Oktober 2013
Ketika pagi harus pergi tergantikan siang dan sejuk-sejuk itu kembali memudar, yakinlah sepanjang Tuhan masih menghendaki bumi berputar, maka pagi itu akan kembali datang. Semua yang tercipta pastilah ada masanya, kita sebagai ciptaan-Nya mampukah memanfaatkan masa itu dengan bijak? Memberikan kebermanfaatan yang maksimal. Karena ada masa di mana kita tak mampu lagi menebar manfaat, masa ketika mulut dikunci, tiada lagi kata, tiada lagi suara. Dan tak ada lagi memori pagi ketika langit telah bertemu bumi, dan bumipun tak mampu lagi memutar dirinya tanpa kehendak ilahi.
Semarang, 1 Oktober 2013
0 komentar: