Tertangkap Basah
Tak
perlulah kita merengek layaknya seorang yang putus harapan atas sesuatu yang bahkan
belum kita kejar layaknya seorang yang telah mati-matian memperjuangkan. Kita
hanya perlu melakukannya lebih.
Kita
barangkali pernah terlampau bersenang-senang, melupakan segala kepayahan yang
seharusnya kita perjuangkan. Kita barangkali pernah tertawa terbahak, tanpa
menjadi peka di tanah yang kita pijak. Kita
barangkali pernah merasa tahu segala, padahal tak banyak yang kita punya
dibalik tempurung kepala. Kita barangkali pernah membiarkan diri, terus
tenggelam dalam kesalahan yang sejatinya kita sadari.
Atas
segala bentuk kelalaian, ketidakpekaan, kepongahan, dan kealpaan, terkadang layaknya
kita terlanjur tenggelam, suka atau tidak suka, harus rela untuk menjadi basah
bukan? Karena bagaimanapun sejatinya basah adalah konklusi yang telah
disepakati atas premis-premis ketenggelaman dalam hidup. Maka saat kita harus
tertangkap basah, bukankah lebih indah menyengaja diri dibanding didapati tanpa
kita duga dan kehendaki? Sama-sama basah, tapi setidaknya dengan menyengaja kita
masih punya jeda untuk memupuk kelapangan hati. Sewaktu-waktu kita memang butuh
tertangkap basah. Membiarkan rasa malu menjadi memori yang akan kita kenang di
masa depan. Membiarkan rasa sesal kita kunyah untuk menemani perjalanan
berikutnya.
Barangkali
seperti itulah Tuhan menciptakan sepasang makhluk bernama masa lalu dan masa
depan. Agar mereka, sadar atau tidak sadar, sewaktu-waktu akan saling
mengingat. Seperti sekeranjang pertanyaan yang kadang tak selalu dijual dengan
bonus sepaket jawabannya sekaligus. Karena ada kalanya sebuah jawaban
barangkali tiba-tiba justru hadir di hadapan kita di masa depan, saat kita
bahkan telah lupa apa yang pernah kita pertanyakan di masa lalu.
Hidup
ini tentu saja sudah ada takarannya masing-masing. Tidak lebih tidak kurang.
Pun tiada bejana yang akan tertukar isinya. Tinggi rendah, banyak sedikit,
cepat lambat, baik buruk, bukankah tugas kita berupaya meraih sebaik-baik
takaran yang sudah disiapkan? Agar tiada mubazir atas takaran yang sudah
dijatahkan tapi dengan ceroboh kita abaikan. Juga tak lupa bercukup-cukup
membentengi diri dari keserakahan, agar tiada takaran yang sejatinya tak muat tapi
dengan tamak terus kita paksa mengisi bejana yang kita punya. Lalu pada
akhirnya kering ataupun tumpah yang didapat hanya menyisakan lelah.
Atas
tulisan yang salah kita eja. Atas langkah yang salah kita tapak. Maafkanlah,
tapi jangan beri pemakluman. Maka memaafkan adalah menjadi sadar atas segala
arus yang terlanjur keliru kita selami. Sedangkan pemakluman hanya akan menjadikan
kita merasa nyaman dan terbiasa tanpa sadar bahwa diri telah basah. Bukankah
tenggelam sejatinya bahkan telah mengajari kita betapa sesaknya berlatih
menahan nafas pada detik-detik permulaannya?
Semarang, 13 Maret 2016
0 komentar: