Surat Cinta untuk Kamu Part 2

02.16 0 Comments

Suatu sore di awal bulan kesembilan tahun lalu, langit sedang tidak mendung tapi juga tidak begitu cerah. Adalah sebuah forum di pelataran joglo yang mempertemukan beberapa gelintir mahasiswa, termasuk aku yang turut  duduk berjibaku. Pelataran yang tidak begitu luas itu jadi saksi bisu forum yang cukup “hangat”. Sejauh pemahamanku yang masih dangkal ini, pembicaraan dimana sebuah pertanyaan dijawab dengan pertanyaan, dan kembali diputar pertanyaan lagi membuat telinga bising. Aneka lontaran sindir bahkan nyinyir yang membuat  perut yang tadinya laparpun mungkin sontak akan menjadi kenyang seketika. Lidah atau bahkan mungkin tanganpun bisa gatal ingin turut andil berkeruh ria.

Sayangnya, menjadi ahli retorika sama sekali bukan bakat yang kumiliki. Sekadar pertanyaan dan tanggapan sederhana yang sesekali turut kulontari. Berbeda dengan seorang berkacamata yang duduk persis di sebelahku. Dia pandai berargumentasi, lihai bercakap membela diri, dan berdebat pun bukan hal asing lagi. Sejauh yang ku kenal, dia selalu di garda depan membela hal yang seharusnya ia bela. Tapi sedari tadi hanya duduk diam sambil sesekali membuka gadgetnya di saat forum mulai “berhangat-hangat ria”.

Matahari sudah tak nampak, tenggelam ke paraduannya. Kami pun berhambur ke peraduan masing-masing. Forum berakhir. Tetiba seorang yang kutunggu suaranya sedari tadi menepis segala tanda tanya di benakku yang datang dari diamnya. Bahwa dia sengaja tak bersuara lantaran belum menuntaskan satu juz bacaan Al-Qurannya. Bahwa begitu takutnya ia jika bicaranya hanya akan menambah kekeruhan dan mengeluarkan apa yang tak seharusnya ia keluarkan. Bahwa sesungguhnya ia tahu yang menyimpang perlu diluruskan, tapi apa gunanya ketika kita sudah tak saling mendengar. Betapa indah dia mempraktikkan teori ketika lisanmu tak lagi diperduli maka cukup biarkan hati mengingkari.

Dari yang mencintaimu aku belajar bahwa agama bukan alat pembenci namun alasan untuk bertoleransi. Bahwa beragama adalah memperlakukan semua orang sama tanpa prasangka. Mencintai apa yang kita yakini tak berarti memusuhi yang lain. Dan lagi, untuk apa amanah ada jika ia hanya berujung menambahkan saling benci bukan?

Tetiba ada rasa malu yang merasuk atas status mahasiswa muslim yang internalisasinya dipertanyakan. Sebagai muslim tak sepatutnya paradoks dengan pedoman yang dipegang, ialah apa yang sudah lengkap tertuang dalam Al-Quran. Begitu mudahnya Allah membolak-balikkan hati. Dan memang tak melulu lewat hal-hal dramatis. Entah korelasi apa yang pada akhirnya mengubah babak baru pemikiran seorang yang memuarakan segala ketidakpahaman pada kejenuhan dan ketidakpedulian. Sederhana, ringan, tapi begitu mengena.

Mungkin kadang seseorang butuh jeda, seperti rangkaian kalimat yang butuh spasi agar bias dimakna. Dan pada akhirnya, semua bermuara pada niat semua bermula. Bahwa aku mulanya hanya ingin mengenalmu. Bahwa aku mulanya hanya mencoba tak menjadi yang tak peduli dengan keberadaanmu. Bahwa aku mulanya hanya berdiri menentukan pilihan dalam keterpaksaan.

Lantas kupikir lagi. Kucari-cari lagi. Ternyata aku hanya belum benar-benar paham apa yang kau ajarkan. Ternyata aku hanya mengkerdilkan apa yang selama ini tak mampu kulihat.

Tentang undangan syuro yang kuabaikan. Sesungguhnya syuro itu lebih mendekati kebenaran dalam mengambil kesimpulan. Syuro itu  menggali ide-ide cemerlang, memperoleh masukan pemikiran,. Syuro itu terhindar dari kesalahan. Syuro itu terjaga dari celaan. Syuro itu selamat dari penyesalan. Syuro itu persatuan di antara hati. Syuro itu mengikuti atsar salafus-shalih. Barangkali seorang yang mengatakan itu tidak penting hanyalah orang yang belum mengerti atau belum mampu memberi.“Tidak ada kebaikan dalam suatu urusan yang diputuskan tanpa dengan musyawarah.” Seperti ucap sahabat Umar Bin Khattab mengingati.

Tentang ajakan diskusi-diskusi mengupas realita yang sekadar kuanggap perkumpulan wacana. Lagi-lagi anggapan itu hanya karena seorang yang belum mengerti. Seperti cukilan kredomu, mengajari tuk menjadi penghitung risiko yang cermat, tetapi bukan orang-orang yang takut mengambil risiko. Maka senantiasalah mengisi hari-hari dengan diskusi-diskusi yang bermanfaat dan jauh dari kesia-siaan, serta kerja-kerja yang konkret bagi perbaikan masyarakat.

Tentang berdiri bersama bersuara di depan gedung pemerintahan yang kuanggap itu nyanyian tanpa makna. Dan kicau-kicau di social media, berpeluru tagar dan bombardir share informasi sebagai laras senjata yang kuanggap terlalu lucu untuk mengubah dunia. Ah, seorang yang berkata begitu hanya belum tahu apa itu perjuangan. Berdirinya mereka atas dasar diskusi dan kajian yang matang, menimbang perkara haq dan bathil. Bahwa bersuaranya mereka bersandar pada keyakinan "Kezhaliman akan terus ada bukan karena banyaknya orang-orang jahat tetapi karena diamnya orang-orang baik." Bahwa kicau-kicau dan tagar memenuhi dunia maya atas dasar paham, bukan sekadar taqlid atau gaya-gayaan mengikuti trending topik. Boleh kucukil lagi kredomu, bahwa mereka “pemuda yang kritis terhadap kebatilan.”

Pada akhirnya aku harus mengungkapkan ini. Sekali lagi pada hal-hal sebelumnya aku memang mudah jatuh cinta. Namun seiring bergulirnya waktu, maaf aku memang masih gagal mencintaimu. Titik kulminasi rasa cinta adalah ketika sebuah pengorbanan terkonversi menjadi kebahagiaan terbesar yang bisa kita rasakan. Kata orang cinta adalah memberi kan? Tapi sayangnya aku belum memberi apa-apa untukmu.

Padahal mencintaimu itu sederhana, cukup dengan berusaha biasa saja. Berusaha biasa menjadikan kemenangan Islam sebagai jiwa perjuangannya. Berusaha biasa menjadikan kebathilan sebagai musuh abadinya. Berusaha biasa menjadikan solusi Islam sebagai tawaran perjuangannya. Berusaha biasa menjadikan perbaikan sebagai tradisi perjungannya. Berusaha biasa menjadikan kepemimpinan umat sebagai strategi perjuangannya. Berusaha biasa menjadikan persaudaraan sebagai watak muamalahnya.

“Wahai orang-orang yang beriman! Maukah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab yanag pedih? Dan kamu beriman Kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad dijalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebiih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS Ash-Shaff: 10-11)

Ayat yang indah bukan? Para ulama mengatakan, ketika Allah memulainya dengan memanggil orang-orang yang beriman dalam suatu firman-Nya, maka betapa berharga apa yang hendak difirmankan berikutnya. Hakikat jihad adalah bersungguh-sungguh mengerahkan seluruh tenaga dan potensi untuk merealisasikan segala yang dicintai-Nya, dan menjauhi segala hal yang dibenci-Nya. Jika dengan mencintaimu menumbuhkan kesungguhan tuk semakin mendekatkan diri dengan segala yang dicintai-Nya, dan menjauhkan diri dari segala hal yang dibenci-Nya, maka aku yakin ia tak lain salah satu wujud perniagaan itu. Insya Allah.

Untukmu KAMMI, dari seorang mahasiswa muslim yang sedang berusaha benar-benar mencintaimu.

Gambar: https://pkkammites.files.wordpress.com

Erna

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: