Bapak

23.33 0 Comments

Bapak, putrimu sudah besar ya.

Dongeng-dongeng yang sering kau ceritakan sebelum tidur, rasanya baru kemarin kudengar. Kancil si pencuri timun, ande-ande lumut beserta para klenting, si ayam jantan yang tanduknya dipinjam si kambing, kakek tua dan cucunya yang menyamar jadi tonggeret, dan banyak lagi artis-artis dongeng yang kau perkenalkan. Di panggung bewujud teras tanpa bangku, ketika malam hanya berteman temaram lentera bercat biru. Mereka masih terjebak dalam labirin memori kecilku. Masih berkelibat, seolah terngiang lagi di telingaku.

Bapak, putrimu sudah besar ya.

Sarung lusuh itu, aku masih ingat dulu sering ku ikatkan ke kursi-kursi dan jadilah gubuk ajaib. Dulu kau bilang aku si kecil yang hebat dan lucu. Lalu kau angkat aku dan daratkan di perutmu. Kau rebahkan diri dalam bentangan sarung itu, lalu kita menyebutnya perahu. Bergoyang ke kanan dan kiri seolah diterjang gelombang di samudera biru. Sarung itupula yang kau gulung-gulung dan kau tarik-tarik, lalu jadilah boneka hasil sulapanmu. Pak, kau memang pembuat mainan nomer satu.

Bapak, putrimu sudah besar ya.

Bunyi berisik kolak dan arit saling beradu yang menggantung di belakang pinggangmu,  layaknya simfoni kecil pengiring semangat tiap tapak langkahmu. Barangkali itu sebabnya panas terik hujan rintik tak kau rasa ya pak? Bapak selalu terlihat begitu hebat berdiri di atas bajak kayu, lalu sapi-sapi itu berlari kesana kemari. Menghamburlah lumpur sawah. Tak kalah gagah dengan para koboi yang berpacu di atas kudanya. Putri kecilmu hanya bisa turut mengekori sapi-sapi turun ke sungai, merumput di tepian tanah lapang, serta menggiring mereka ke kandang. Lantas sesekali bersembunyi di balik tubuhmu jika sapi-sapi itu mulai ngambek ku jaili. Kupikir mereka memang kadang pilih kasih. Selalu menurut padamu, tapi padaku? Sebaliknya. Tapi kini, sungai-sungai telah semakin kecil debitnya. Sapi-sapi itu pun sudah tak berbekas lagi kandangnya. Orang-orang lebih memilih sapi-sapi mesin menggerus sawah mereka, tapi kolak dan aritmu tetap saja bersimfoni merdu.

Bapak, putrimu sudah besar ya.

Rasanya baru kemarin, kemeja batik cokelat itu kau kenakan mengambil rapor dengan  seragam putih merahku. Aku, putri kecilmu yang sedari dulu memang pelupa dan tergesa-gesa. Mulai dari mencarikan tongkat bambu, bongkah tanah liat, hingga segulung kayu. Betapa Maha Baiknya Tuhan, Dia mengirimkanku seorang bapak yang selalu siap siaga.

Rasanya baru kemarin, kemeja itu pula kau kenakan mengambil rapor dengan seragam putih biruku. Aku, putri kecilmu mu nan lugu yang mencari-cari diri. Demi seragam itu kau relakan putra kesayanganmu menjeda. Ah bukan, karena seragam itu putri kecilmu semakin bangga. Bahwa ada lelaki-lelaki yang senantiasa melindungi. Ada lelaki-lelaki yang dalam bahasa diamnya terus peduli. Tidak ada hal yang lebih indah untuk ku syukuri. Terima kasih, mas, pak!

Rasanya baru kemarin, melihat sebahagia-bahagia senyummu mengantar wisudaku di masa putih abu-abu. Sepucuk surat undangan tetiba membuatmu panik. Tak ada sepatu mengkilap. Tak ada kemeja apalagi jaz mewah untuk sekadar berdiri di atas panggung. Ku bilang cukup kemeja batik cokelat itu. Sepanjang perjalanan 20 km di dalam angkutan umum, tak hentinya kau bercerita. Putrimu hanya tersenyum, bapak aku baru melihat sosok ceriamu. Pak, selama ini apakah diam-diam kau sembunyi dalam ketenanganmu?

Bapak, putrimu sudah besar ya.

Pak, aku mungkin terlalu gengsi untuk kembali meminta kau perdengarkan kisah-kisah dongeng yang sejujurnya masih membawa candu rindu. Lantas kuganti bercerita betapa bahagia di rantau mengukir kisah bersama kawan dari berbagai penjuru negeri. Kau tersenyum.
Pak, aku mungkin sudah terlalu tidak lucu untuk bermain perahu ataupun berlindung di bawah gubuk ajaib dari sarungmu. Lantas sesekali aku bercerita tentang tenda-tenda setengah bulat yang ku bangun di atas gunung atau tentang perjalanan di atas kapal bersama kawan di rantau. Kau kembali tersenyum.

Pak, aku mungkin sudah jarang mendengar simfoni kolak dan arit di belakang pinggangmu. Tak lagi bersembunyi selepas menjaili sapi-sapi. Lantas akupun bercerita, berpura betapa mandiri hidup di tanah rantau. Bahwa orang-orang begitu mudah mengandalkan teknologi. Kau tetap hanya tersenyum.

Bapak, putrimu sudah besar ya.

Pak, aku kini sudah tak berseragam. Tapi aku sedang berjuang, melihatmu lagi dengan keceriaan yang sama, kebanggaan yang sama, bahkan seharusnya lebih besar. Aku kini jauh, tak nampak tindak dari pandanganmu setiap waktu.  Tapi kau selalu terlalu percaya putrimu menjaga apa yang harus dijaga, melakukan apa yang harus dilakukan. Lantas aku bertanya, kelak baju apa yang akan kau kenakan di hari itu? Kau masih saja tersenyum.

Tak ada seorang bapakpun yang tak gelisah saat putrinya berjuta kaki terpisah. Entah apa arti semua senyum itu. Barangkali sebuah isyarat kau menangkap segala yang kuceritakan tak lain alibi kerinduanku padamu. Atau seperti dulu diam-diam kau sembunyi dalam ketenanganmu, pun barangkali diam-diam kau sembunyi dalam senyum itu.

Bapak, putrimu sudah besar ya.

Dalam diam, diam-diam rinduku pun semakin besar.


Gambar: http://ayah4anak.blog.com

Erna

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: